Aku ayun pedal sepeda sekuat tenagaku. Kerikil dan batu-batu besar dapat aku hindari dengan mudah. Tikungan-tikungan pun dibelai oleh sepedaku dengan pasti. Aku bangga sekali dengan keahlianku dalam bersepeda ini. Aku tidak tahu pasti, kapan aku dapat mengendarai sepeda. Tapi seingatku, ketika dulu aku masih kecil. Aku iri melihat teman-temanku yang pandai bersepeda. Sehingga aku merengek kepada orang tuaku untuk dibelikan sepeda. Tanpa basa-basi lagi, esoknya pun ayahku membelikan aku sepeda. Karena kebetulan ketika itu, bisnis ayahku sedang maju-majunya. Jadi apa yang diminta anaknya selalu diturutinya. Sepeda itu pun diturunkan dari sebuah mobil los bak warna hitam bergaris putih. Begitu senangnya saat itu, karena akhirnya aku dapat memiliki sepeda seperti teman-temanku tanpa harus bersusah payah merayu orang tua atau mengumpulkan uang untuk membeli sepeda itu. Ketika sepeda itu turun dari mobil, aku memandanginya dengan takjub. Membelainya seperti aku membelai kuda Australia. Aku hanya bisa memandang dan memegangi sepeda itu dengan takjub. Karena saat itu aku belum bisa mengendarai sepeda. Aku meminta sepeda itu, karena aku sangat iri pada teman-temanku. “ayo, cepat kendarai sepeda itu nak” tegur ibuku yang seketika itu pula membuyarkan lamunanku. Aku hanya terdiam dan tersenyum malu. Karena kebodohanku dalam mengendarai sepeda. “ayo coba dulu, nanti juga bisa sendiri” kakakku menyemangati. “mari kakak ajari, naik sepeda itu gampang. Kalo kamu sudah bisa mengendarai sepeda, ketika nanti kamu belajar mengendarai motor maka akan mudah. Karena kamu sudah tahu dasarnya” kata kakakku memberi pelajaran pertamanya dalam mengendarai sepeda.
Aku beranikan diri untuk menaiki dan mengendarai sepeda itu. “kamu tinggal goes pedalnya, setelah itu kendalikan setangnya agar seimbang” kakakku memberikan pelajaran keduanya. Aku coba untuk mengendarai sepeda itu dari ujung garasi mobil sampai pinta garasi. Garasi mobil itu cukup luas karena bisa menampung sekitar empat mobil. Yang dulu, ketika bisnis ayahku sedang berada di puncaknya. Garasi mobil itu dipenuhi oleh empat mobil. Mercedes benz warna hitam hati kepunyaan ayahku, jipz besar kepunyaan kakak pertamaku, kijang Toyota warna hitam kepunyaan kakak keduaku, dan sebuah kijang kapsul warna biru cerah kepunyaan ibuku. Kehidupan keluargaku saat itu begitu makmur atau mungkin bisa dikatakan berlebih. Tapi sekarang semua mobil-mobil itu telah tidak ada. Mobil Mercedes benz kepunyaan ayahku dibawa kabur oleh supirnya. jika kita melihat wajahnya seperti pak Raden. Memiliki kumis yang lebat dan tebal. Tapi bedanya jika tokoh pak Raden itu gemuk tapi jika supirku itu kurus seperti orang yang tidak makan tiga hari tiga malam. Sedari dulu aku sudah curiga padanya, aku sering curiga dari arti senyumannya. Karena Ketika dia senyum aku selalu teringat akan para pejabat dan menteri-menteri yang sering tampil di televisi tapi pada akhirnya ternyata dia diketehaui sebagai seorang korupter. Senyum supirku itu persis seperti itu. Senyum manis tapi penuh arti dibalik senyumannya itu. Dan mobil-mobil kakakku dan ibuku, habis semua dijual untuk menutupi kebutuhan keluargaku dan menutupi kerugian bisnis ayahku yang mulai kolep. Akhirnya garasi mobil itu hanya dipakai oleh aku dan adikku untuk bermain. Entah itu bermain bola, bulu tangkis, atau terkadang juga aku gunakan untuk balapan mobil tamiya bersama teman-temanku. Dan pelajaran mengendarai sepedaku pun aku lakukan digarasi itu.
Aku ayun pedal sepedaku dengan sekuat tenaga. Dan ketika mengendalikan setang sepeda, aku begitu gugup. Sehingga akibatnya tanganku kaku dan tidak dapat membelak-belokan setang sepeda sebagaimana mestinya. Awalnya aku begitu senang, walaupun dengan cara yang salah, aku masih bisa menjalankan sepeda itu dangan rute lurus saja. Aku serasa terbang, angin sore itu membelai lembut pipiku dan memberikan kesejukan diseluruh badanku. Aku hanya tersenyum bahagia dan terus mengendarai dengan rute lurus saja. Ayah, ibu, dan kakaku berteriak menyemangati. “ayo terus…..!!!!!!!!!!” teriak mereka. Semangatku semakin berkobar, sehingga tanpa aku sadari, aku sudah hampir mendekati pintu garasi. Dan keluargaku mulai panik, “awas nak, hati-hati! Berhentikan sepedanya” teriak ibuku. Aku panik, kali pertama aku mengendarai sepeda dan aku belum bisa membelok-belokannya. Yang tadi sudah aku ceritakan, bahwa waktu itu aku hanya tahu rute lurus saja. Aku hanya bisa pasrah, karena waktu itu aku lupa segalanya. Bahkan aku lupa kalo disepeda itu ada remnya. Brakkkkk, suara benturan antara ban sepeda dan pintu garasi pun terdengar kencang. Aku terjatuh dalam posisi yang mengenaskan, dan aku hanya bisa nyengir-nyengir kuda karena kebodohanku dalam mengendarai sepeda.
Setelah hari mengenaskan itu, aku terus melatih diriku agar bisa mengendarai sepeda. Waktu itu diotakku hanya ada sepeda, sepeda, dan sepeda. Pagi-pagi, setelah aku bangun dari tidur. Aku segera lari keruangan di samping kamar mandi. Dimana sepedaku disimpan, dan dengan hati-hati mengeluarkannya ke gerasi mobil. Lalu aku bersegera mandi agar tidak dimarahi oleh ibuku, dan setelah itu mengambil sepeda dan mulai berlatih lagi. Setiap hari aku lakukan seperti itu, setelah pulang sekolah, setelah makan siang, pokoknya setiap aku memiliki waktu luang. Aku selalu menggunakannya untuk berlatih sepeda. Makin hari kemampuanku makin terasah, sehingga malam ini aku dapat mengendarai sepeda dengan baik. Entah itu jalan sempit, tikungan, jalan berbatu, semuanya dapat aku lewati dengan mudah.
Walaupun dalam kondisi gelapnya malam, hal itu tidak mengurangi kemahiranku dalam bersepeda. Aku terus mengendarai sepedaku seperti Valentino Rossi menyalip lawan-lawannya di sirkuit balap. “tunggu aku ka!” teriak adikku yang susah payah menyusulku dibelakang. Adiku terus berusaha mengejarku, tapi sayangnya karena kemahiran adiku dalam mengendarai sepeda tidak sebanding denganku. Akhirnya tetap saja dia tidak dapat menyusulku. Aku hanya bisa tertawa karena adiku tidak dapat menyusulku. Aku terus memacu sepedaku karena aku pun tidak mau terlambat datang ke pengajian pak Edy untuk belajar mengaji dan membina ilmu agama. Aku terus menghadap kedepan, terkonsentrasi pada jalan yang sedang aku lewati. Dan jalan pun semkin gelap, karena sekarang aku sudah mulai memasuki perkampungan dan melalui gang-gang sempit. Aku melihat kedepan, tapi yang aku lihat hanya lampu-lampu rumah yang redup. Yang hanya diterangi lampu bertenaga 5 watt. Aku mulai memasuki sebuah jalan tanah sedikit berpasir. Pandanganku mulai terfokus pada jalan didepanku. Sebuah jalan yang gelap, diterangi cahaya redup lampu rumah kecil. Yang rumah itu tidak lajim seperti rumah lainnya. Karena rumah itu hanya terbuat dari tumpukan kayu yang disusun. Atapnya terbuat dari daun pohon kelapa yang ditumpuk sedemikian rupa. Dan beberapa sisi temboknya yang terbuat dari kayu itu ditutup dengan daun pohon kelapa juga agar tidak bolong. Konon kabarnya, rumah itu hanya dihuni oleh seorang bapak tua pemanjat pohon kelapa dan istrinya yang mulai renta juga. Yang membuat jalan itu semkin merangsang bulu kuduk untuk berdiri adalah karena disamping jalan itu, tepatnya disebrang rumah bapak tua pemanjat pohon kelapa itu ada sebuah kuburan tua yang dikeramatkan oleh masyarakat. Sehingga kuburan itu dibuatkan pagar disekelilingnya. Tapi karena pagar itu sudah lama dibuat, akhirnya sekarng yang terlihat hanya sebuah pagar tua hitam dan berlumut. Masyarakat disekitar kampung itu percaya, bahwa kuburan itu adalah kuburan orang yang sakti mandraguna. Sehingga setiap orang tua dimasyarakat itu selalu menasihati kepada anak-anaknya agar jika melewati kuburan itu tanpa terkecuali harus mengucapkan “permisi-permisi mbah, saya cucu mbah numpang lewat. Tolong jangan diganggu mbah”. Masyarakat disekitar itu yakin, jika kita tidak mengucap perkataan itu ketika lewat. Maka orang sakti yang dikuburkan disitu akan mengganggu kita. Sehingga setiap anak kecil yang telah mendengar nasihat itu dari orang tuanya atau dari temannya. pasti mereka mengucapkan itu ketika melewati kuburan tua itu. Memang aku mendengar cerita itu bukan dari orang tuaku. Karena ditempatku, orang tuaku, khususnya ibuku seorang yang terpelajar. Sehingga orang tuaku tidak terlalu percaya mitos-mitos seperti itu. Walaupun aku sudah berusaha menutup telinga terhadap cerita keseraman dan keangkeran tempat itu. Tapi akhirnya aku mendengarnya juga dari temanku. Dan seperti ibuku juga, aku tidak terlalu mempercayai cerita-cerita seperti itu. Tanpa perasaan takut sedikitpun, aku cuek saja ketika akan melewati jalan itu.
Tapi ternyata setan-setan didekat kuburan itu bermaksud lain. Kalau biasanya setan-setan itu membisikan tentang keangkeran dan keseraman kuburan itu kepada orang-orang disekitar tempat itu. Kali ini setan-setan itu membisikan kepadaku agar aku menjaili adikku yang sedang susah payah menyusulku dibelakang. Akhirnya ide-ide tidak bermoral pun muncul dipikiranku. Aku mulai memperlambat laju sepedaku, agar adiku bisa menyusulku. akhirnya Adiku dapat mengimbangiku juga. Sambil mengendarai sepeda bersampingan, aku pun berbisik kepadanya “dik, didepan itu ada kuburan tua. Kalo kita lewat situ, maka penghuni kuburan itu akan membawa adik kedalam kuburan itu. Awas dik, hati-hati nanti adik ditangkap sama setan disitu”. Sambil menekankan intonasi diakhir kalimatku agar menambah suasana seram dalam susunan kalimatku. Setelah adikku mendengar perkataanku, tiba-tiba wajahnya terlihat pucat dan mulai ketakutan. Aku hanya bisa menahan tawa melihat wajah adik perempuanku yang ketakutan. Tanpa basa basi lagi. Kembali aku mengayun sepedaku lebih kuat. Agar mendapatkan kecepatan lebih sehingga aku dapat meninggalkan adikku lagi dibelakang. Ketika aku mulai menjauh dari adikku. Dia mulai panik karena aku tinggal. Dia beteriak “kakak, tunggu adik. adik takut”. Aku hanya bisa tertawa sambil terus mengayun sepedaku. Tapi ketika aku melihat kebelakang. Entah apa yang mendorong adikku dapat mengayuh sepeda secepat itu sehingga dia hampir menyainggiku. Aku terus memacu sepedaku tanpa ampun. Melihat terus kedepan karena aku tidak mau dikalahkan oleh adikku. Tapi ketika aku sibuk mengendarai sepedaku, aku merasa ada sesuatu yang menyenggol ban belakang sepedaku. Itu membuat sepedaku oleng, tapi dalam sekejap aku dapat mengendalikan kembali sepedaku. tapi tidak lama setelah itu, aku mendengar suara sesuatu terjatuh dan disusul oleh suara tangisan. Aku memberhentikan sepedaku dan melihat kebelakang. Begitu terkejutnya aku, ternyata yang terjatuh adalah adikku. Dia hanya menangis sambil memandangiku. “kakak, jangan tinggalkan adik. Adik takut, tolong kakak! Jangan tinggalkan adik” rintihnya sambil menangis menahan lukanya akibat terjatuh. Aku segera memutar balik arah sepeda untuk menolong adikku. Perasaan bersalah mulai menggelayuti hatiku. Aku menyesal dengan perbuatanku yang telah membuat adikku celaka. Aku segera menghampiri adikku. Aku campakkan sepedaku dan segera monolong adikku. Aku pegang tangannya, aku begitu khawatir. “adik tidak apa-apa kan?” tanyakku. Adikku hanya menangis tersedu-sedu sembil menahan sakitnya. “adik takut ka, jangan tinggalkan adik” rintihnya lagi. Aku peluk tubuhnya, sambil ku usap kepalanya yang terbalut kerudung putih. “jangan takut dik, kakak akan selalu ada disampingmu” bisikku padanya.
Aku bantu adikku untuk berdiri, “ayo bangun dik, kita pulang saja” saranku. Ketika aku coba membantunya untuk berdiri “aduuuhhhh, kaki adik sakit ka!” rintihnya lagi. Ku coba untuk mendudukannya lagi. Aku lihat kakinya, ternyata dia terkilir dibagian pergelangan kakinya. Ku pandangi kuburan tua yang terletak disamping jalan itu. Aku mengumpati kuburan itu dalam hati karena setan-setan dikuburan itu telah memasukan ide terlaknatnya ke dalam temporong kepalaku. Aku tatap lagi adikku yang masih menangis. Aku berjongkok, “ayo naik dik” perintahku lembut kepada adikku. Dia berusaha berdiri dan naik dipunggungku. Aku menggendongnya untuk membawanya kembali ke rumah. Aku berjalan dengan perasaan bersalah sambil menggendong adikku. Dia hanya bisa memberikan sisa tangisnya sambil merintih menahan sakit. Lampu-lampu jalan menyinari malam itu. Cahaya dari mobil yang lewat membesit di mataku. Entah kenapa setelah kejadian itu, malam ini menjadi melankolis. Ku gendong terus adikku, tanpa terasa dia tertidur kelelahan dipundakku. Ku berbisik kepadanya “maafkan ku wahai adikku, aku telah banyak menyakitimu”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H