Saya telah menyadari sejak dulu bahwa kemampuan seseorang berbeda-beda. Saya sendiri kini tengah belajar menerima bahwa kemampuan saya tidak lebih baik dari orang lain. Tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Teman-teman menyelesaikan tesisnya lebih cepat dari saya.Â
Mereka lebih gigih, lebih berani, dan lebih rajin dibanding saya. Jujur saya minder, tapi itu bukan berarti saya lantas mengundurkan diri dan memutuskan untuk tetap bergelar sarjana selamanya. Saya tetap berusaha mengejar ketinggalan dan mengerjakan tesis sesuai dengan kemampuan saya.
Pikiran untuk mengundurkan diri sempat terlintas ratusan kali. Mungkin saya tidak sepintar yang saya kira. Mungkin takdir saya adalah menjadi budak korporasi selamanya. Pikiran-pikiran itu berkali-kali menggoda saya untuk berhenti meneruskan studi.Â
Saya beruntung karena berhasil menepis semua itu dan memaksa diri saya untuk menyelesaikan apa yang saya mulai. Biar lambat asal maju jalan.
Selain kuliah, kesibukan saya lainnya adalah membantu anak-anak belajar selepas sekolah. Bagian yang paling menarik bagi saya adalah saat mengajar anak-anak kelas 9 SMP yang sedang bersiap-siap menghadapi ujian nasional. Bukan bermaksud sombong, ini hanya sekedar konteks saja, dulu saat SMP danan SMA, saya selalu masuk sekolah unggulan.Â
Bahkan di sekolah unggulan tersebut saya masuk kelas unggulan. Dulu saya cuma haha hihi saja karena senang bergaul dengan teman-teman yang pintar dan berprestasi. Tapi kini, saya melihat bahwa apa yang saya lihat saat sekolah dulu bukanlah realitas. Saya terpaku pada pikiran bahwa semua orang memiliki kapasitas yang sama dengan saya dan teman-teman.
Murid-murid saya berasal dari sekolah yang berbeda-beda dengan latar belakang keluarga yang berbeda-beda pula. Dari situ dapat dilihat bahwa kemampuan mereka juga berbeda-beda. Kebetulan saya mengajar Bahasa Inggris, sehingga saya hanya bisa menilai kemampuan mereka dalam bidang ini saja.Â
Saat mengerjakan latihan soal untuk ujian nasional, ada murid yang mampu menyelesaikan semua soal (50 soal) dalam waktu 60 menit saja. Saat saya sodorkan 50 soal lagi, ia mengerjakannya dengan mudah seakan ini bukan apa-apa.Â
Ada lagi murid yang mampu menyelesaikan semua soal dalam waktu 60 menit, namun tenaganya terkuras habis dan meminta waktu istirahat. Murid yang hanya mampu menyelesaikan 20 soal dalam waktu 60 menit juga ada.Â
Saya takjub sekali melihat perbedaan ini. Sebagai pengajar, saya berusaha menyesuaikan diri dengan kemampuan masing-masing murid. Syukurlah hingga saat ini, saya tidak mengalami banyak kesulitan dalam hal itu. Saya mampu melihat materi apa yang sulit dipahami murid A, apa kelebihan murid B, apa yang membuat murid C selalu lupa materi yang diajarkan, dan lain-lain.Â
Tidak ada yang salah dengan tidak memahami materi. Solusinya mudah dan saya bisa dengan sabar membimbing mereka. Yang sulit adalah mereka yang menolak untuk bergerak. Mereka yang lebih memilih bermain dengan gadget atau bergosip daripada belajar.