Money Politics sepertinya sudah mendarah daging di kehidupan rakyat Indonesia. Pemilu tanpa money politics kok rasanya seperti lebaran tanpa ketupat. Nggak afdol.
Sewaktu dua anggota keluarga saya tidak dapat surat panggilan untuk mencoblos, kami was-was, takut suara kami dibeli orang lain. Beruntung, kami masih bisa mencoblos hanya dengan menunjukkan KTP. Rasa was-was yang terjadi di keluarga saya adalah hal yang wajar, mengingat kami banyak menyaksikan kecurangan-kecurangan yang terjadi ketika pemilu.
Beberapa tahun yang lalu, sebelum saya memiliki hak pilih (saya lupa tepatnya tahun berapa), desa saya menyelenggarakan pemilihan kepala desa. Layaknya pemilu legislative kemarin, seluruh desa dipenuhi baliho, poster, spanduk dengan wajah para calon kepala desa. Hari H, seorang saudara saya mampir ke rumah sayayang memang jaraknya dekat dengan balai desa. Saat itu masih pukul sepuluh atau sebelas, pemungutan suara masih berlangsung.
“Kemarin lho mbak, si calon X mbagi-mbagiin uang ke orang-orang di kampungku,” saudara saya bercerita pada bunda saya.
“Berapa uangnya?” Tanya bunda saya.
“Lima belas ribu satu orang.”
“Terus, kamu bakal nyoblos dia?”
“Ya iya mbak, wong sudah dikasih uang.”
“Kamu aku kasih uang 20.000, tapi kamu nyoblos si A.” Si calon A adalah jagoannya bunda saya. Tentu, bunda saya tidak ingin A kalah dengan X.
“Wah, ya nggak bisa gitu mbak, saya sudah dikasih duluan sama si X,” tolak saudara saya.
Voila! Si X menang telak di pemilihan kepala desa tahun itu. Ternyata, dia tidak cuma nyogok orang di kampong saudara saya saja, tapi di berbagai pelosok desa. Kebetulan saja, saya dan tetangga tidak dapat karena ayah saya panitia pemilihan kepala desa.
Pagi tadi saya mendengar cerita teman kerja saya yang mendapat ‘serangan malam’ dari seorang caleg.
“Berapa uangnya?”
“Tiga puluh ribu satu orang. Di rumah ada empat orang, jadi dapatnya ya lumayan. Dia juga janji kalau nanti menang, warga mau diajak rekreasi. Akomodasi dan oleh-oleh ditanggung sama dia.”
“Terus kamu nyoblos orang itu?”
“Iyaa.. Mau gimana lagi? Sudah dikasih uang kok nggak nyoblos dia. Takutnya nanti dosa…”
Ketika mengaitkan dua cerita ini, saya mendapat kesimpulan kalau warga ini menganggap uang yang mereka terima itu sebagai amanah yang harus dijalankan. Sama seperti “ini kamu aku kasih uang, nanti kamu pel rumahku yaa..” Kalau yang begini tidak dilaksanakan memang dosa. Tapi beda cerita kalau konteksnya pemilu. Justru kalau menerima uang itu dosa.
Caleg atau calon pemimpin lain yang memberlakukan money politics itu mendzalimi rakyatnya sendiri. Nah, rakyat kenapa mau dipimpin sama orang yang dzalim? Itu karena faktor takut dosa kalau tidak mencoblos si penyogok itu tadi. Takut mengkhianati orang yang sudah memberi mereka uang. Padahal, kalau calon pemimpin itu tadi sudah berkuasa, rakyatlah yang memberi uang pada mereka.
Kalau rakyat sendiri mau didzalimi, bagaimana Indonesia bisa bebas dari pemimpin yang dzalim?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H