Di sisi lain, pemerintah Indonesia tampaknya tidak begitu mendengar dan memperhatikan masukan-masukan dari lembaga negara lainnya yang memiliki fungsi pengawasan dan pelaksana dalam permasalahan COVID-19 dan kesejahteraan ini, seperti Ombudsman RI, Komnas HAM, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ahli Kesehatan Masyarakat, Apoteker, Kebidanan, dan Keperawatan Indonesia serta Ahli Sosiologi dan Antropologi Indonesia. Yang terjadi adalah kebijakan penanganan COVID-19 oleh pemerintah Indonesia terus berjalan sendiri begitu saja tanpa kontrol dan kendali. Namun hingga hari ini, kebijakan penangggulangan wabah pandemi COVID-19 di Indonesia terkesan dirumuskan dan dijalankan secara satu arah dari pemerintah tanpa melibatkan partisipasi publik. Di sisi lain, nampaknya tak ada kanal pengawasan formal yang bisa dijadikan wadah dan acuan warga untuk mengevaluasi secara berkala kebijakan penanggulangan wabah pandemi COVID-19 yang dilakukan oleh pemerintahan Joko Widodo dan K.H. Ma'ruf Amin. Terlebih lagi tidak menggunakan sistem informasi dan jaringan komputer dalam pemetaan dan koordinasi antarlembaga pemerintah yang menjadi basic big data kesehatan nasional menghadapi bencana alam dan kesehatan masyarakat.
Apalagi mengenai masalah tes COVID-19, Indonesia merupakan negara terburuk dalam pengelolaan dan penanganan kesiapsiagaan pandemi COVID-19. 65 Negara di dunia melakukan travel bans bagi orang Indonesia yang hendak ke negara mereka karena pelaporan dan penggunaan tes yang njelimet menggunakan Rapid Test Antibodi bukan menggunakan PCR Swab Test Antigen. Termasuk beberapa bulan baru-baru ini, Jepang dan Arab Saudi meragukan tes dari Indonesia sehingga menangguhkan visa bagi orang Indonesia yang berkunjung ke negeri mereka hingga waktu yang tidak ditentukan. Seperti kasus di Jawa Timur yang ditulis Ardiansyah Fajar yang dilansir oleh IDN Times Jatim, infrastruktur pengetesan belum siap. Sebab tidak banyak laboratoriun yang mampu melakukannya. Ditambah lagi jumlah reagen masih terbatas dan harus memesan dari luar negeri menyebabkan pengetesan di Indonesia sangat mahal mulai dari 150 ribu hingga 500 ribuan lebih tergantung berada di fasilitas kesehatan milik pemerintah atau swasta. Dan pertanggal 18 Desember 2020 berubah lagi kebijakan publik di bidang transportasi yang mengharuskan menggunakan Rapid Test Antigen dan PCR Swab Test saat ke luar kota baik melalui pesawat terbang, kapal laut, bis, maupun kereta api, sehingga kembali lagi masyarakat dibuat bingung. Sudah selayaknya, pemangku kepentingan di negeri ini merumuskan kebijakan publik jauh-jauh hari kemudian di sosialisasikan melalui media massa, media sosial, radio, pamflet, dan televisi supaya masyarakat tahu apa yang hendak dilakukan untuk pergi ke luar kota ataupun ke luar negeri. Selayaknya pemerintah Indonesia belajar dari Korea Selatan, Jepang, Selandia Baru, dan Singapura dalam penanganan kesehatan masyarakat dan ekonomi di masa pandemi COVID-19 dengan menunda pembangunan infrastruktur yang masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional 2019-2024 untuk dialokasikan kepada bantuan sosial, pengadaan PCR dan sistem Real Time m2000, pengaplikasian daring UMKM Indonesia,Â
Meskipun begitu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana Republik Indonesia dan Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Republik Indonesia segera mengeluarkan Addendum Surat Edaran No. 3 tahun 2020 tentang protokol kesehatan perjalanan orang selama libur hari raya natal dan menyambut tahun baru 2021 dalam masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang mengharuskan PCR Swab Test bagi orang asing selama 2x24 jam dari tanggal keberangkatan dalam memperketat pengawasan terhadap kedatangan pelaku perjalanan WNA dan WNI dari Inggris Raya, Eropa, dan Australia akibat merebaknya mutasi COVID-19 di Inggris Raya. Akan tetapi, alangkah sebaiknya pemerintah Indonesia menutup penerbangan, kapal laut, dan jalur darat serta perbatasan dengan negara-negara yang dilaporkan telah terjangkit mutasi COVID-19 dan masyarakat tidak melakukan traveling ke luar kota dan ke luar negeri dalam tindakan keterdesakan atau sekedar hiburan karena lelah harus work and learn from home. Tidak hanya disitu saja, pemerintah juga mempersiapkan lahan-lahan pertanian dan hasil perikanan melalui budidaya perikanan untuk memenuhi kebutuhan pangan di perkotaan dan ekspor perdagangan karena entah sampai kapan pandemi ini akan berakhir, masyarakat membutuhkan asupan makanan yang bergizi dengan pemantauan distribusi dan ketersediaan serta harga yang terjangkau selain perlu olahraga di ruang terbuka dengan mematuhi protokol kesehatan COVID-19.Â
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) merekomendasikan kepada seluruh stakeholders dan pejabat negara baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah memastikan tata kelola politik penanganan wabah yang sepenuhnya berlandaskan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance): responsif, akuntabel, transparan, partisipatif, dan menjunjung tinggi kesetaraan dan inklusivitas. Secara khusus,  mendesak pemerintah melakukan hal-hal sebagai berikut:
- Melengkapi aturan-aturan hukum pelaksana dari Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dalam bentuk peraturan pemerintah, yang mana ia menjadi dasar acuan untuk pelaksanaan penerapan kebijakan Karantina Mandiri (Self-Isolation), Karantina Rumah, Karantina Rumah Sakit, dan Karantina Wilayah.
- Menunda pelonggaran status PSBB dan/atau kebijakan sejenis untuk membantu menekan laju transmisi virus corona. Pemerintah harus kembali menutup aktivitas kerja non esensial dan menerapkan evaluasi keputusan pelonggaran harus didasarkan pada parameter kesehatan, seperti rasio test minimum 1/1000 penduduk perminggu, serta kesiapan masyarakat yang diukur berdasarkan persepsi risiko mereka. Ini hanya bisa dilakukan jika pemerintah mengubah paradigma penanganan wabah dengan mengedepankan aspek kesehatan masyarakat dan keselamatan sebagai prasyarat untuk menjamin kelangsungan ekonomi, bukan sebaliknya.
- Melakukan komunikasi risiko pandemi publik yang benar dan konsisten. Pemerintah wajib menciptakan rasa aman yang didasarkan pada pemahaman risiko pandemi dan pengetahuan---bukan rasa aman palsu---sebagai hal yang fundamental. Pastikan pesan yang disampaikan berempati, konsisten mengedepankan aspek keselamatan dan kesehatan publik, dan membangun kewaspadaan berlandaskan ilmu pengetahuan dan data yang benar, bukan pseudosains. Pastikan juga agar semua elemen pemerintah memiliki pemahaman yang benar dan tidak menyimpang dari pesan tersebut.
- Transparansi Data Penanganan COVID-19. Perumusan kebijakan penanganan dan pengendalian wabah yang efektif dan efisien hanya bisa dilakukan dengan menggunakan data yang benar. Oleh karena itu, pemerintah harus berani jujur membuka data COVID-19 yang sebenarnya ke publik. Pemerintah tidak perlu menutupi data kematian akibat belum adanya kesempatan mendapatkan akses tes COVID-19 yang berbasis molekuler, atau PCR. Semua pasien yang meninggal akibat  COVID-19 baik suspek maupun probable harus diumumkan secara resmi setiap hari
- Meningkatkan kapasitas tes-lacak-isolasi dan menghentikan penggunaan rapid test untuk diagnosis dan sebagai syarat administratif perjalanan. Kapasitas tes-lacak-isolasi yang memadai adalah penting untuk menekan penyebaran wabah dan memberikan gambaran utuh mengenai kondisi pandemi terkini. Pemerintah harus meningkatkan kapasitas tes PCR melebihi anjuran rasio minimum 1/1000 penduduk setiap minggu (atau sekitar 40,000 tes per hari), menjadi 300.000 per hari. Pemerintah juga harus meghentikan kebijakan keliru penggunaan rapid test untuk diagnosis dan sebagai syarat administratif perjalanan dan masuk kerja dan/atau prosedur. Merebaknya penggunaan rapid test yang menjadi lahan bisnis justru berdampak pada turunnya tingkat kepercayaan publik terhadap upaya pemerintah untuk melakukan pelacakan secara masif. Dan juga keterlibatan masyarakat Indonesia dalam melakukan pelacakan dan isolasi terhadap pasien COVID-19 yang bergejala ringan dan sedang atau orang tanpa gejala (OTG) bahwa COVID-19 bukanlah aib buruk bagi penyintas COVID-19.
Tentunya yang dilupakan Walhi adalah 6. Perbaikan Data Transaksi Bantuan Sosial yang mesti berbasis digital dan melibatkan Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, ahli sosiologi, ahli sistem informasi dan jaringan komputer, ahli teknik informatika dan telekomunikasi, dan ahli statistika, serta pekerja dan analis sosial budaya dalam rangka merealisasikan ketahanan sosial kepada masyarakat yang terdampak pandemi dan unemployment di masa-masa ketidakpastian hingga tahun 2021; 7. Penyediaan dapur umum, sanitasi, Rumah Sakit Darurat, dan tempat isolasi mandiri bagi pendatang ataupun pengunjung dengan pendanaan dari realokasi APBD, swasta, patungan dari masyarakat maupun secara sukarela. Faisal Basri Batubara, Ekonom INDEF di dalam Tirto.id mengungkapkan "Jadi kita tidak pernah tahu sampai puncaknya itu kapan. Dan ongkosnya semakin besar. Dan kita tidak punya kemampuan untuk mem-backup ekonomi kita supaya tidak turun terlalu tajam". Pemerintahan yang baik adalah mengatasi problematika dengan pendekatan sains dan mengedepankan aspek keselamatan warga negaranya tanpa tergesa-gesa untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi nasional yang -3,49% di kuartal 3 tahun 2020. Di tahun 2020 ini, pemerintahan Joko Widodo dan K.H. Ma'ruf Amin beserta jajaran pemerintah daerah diuji oleh sentimen masyarakat terhadap kepercayaan kepada pemerintah dalam penanganan COVID-19 dan keseriusan mengatasi masalah ekonomi dan kesehatan masyarakat nasional tahun 2020-2021.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H