Mohon tunggu...
Zein Muchamad Masykur
Zein Muchamad Masykur Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora - UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto

"Yang penting nulis, bukan nulis yang penting"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Eksplorasi Epistemologis dan Hermeneutis terhadap Manifestasi Spiritual Isra' Mi'raj: Dialektika Nusantara

29 Januari 2025   15:17 Diperbarui: 29 Januari 2025   15:17 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Masjid. Sumber: AI Generator

Peristiwa Isra' Mi'raj ( ) merepresentasikan manifestasi spiritual yang memiliki signifikansi multidimensional dalam diskursus Islamic studies kontemporer. Layaknya konsep "ngelmu" dalam tradisi Jawa yang tidak sekadar tentang pengetahuan superfisial, perjalanan transendental Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa () dan dilanjutkan dengan asensi vertikal menuju Sidratul Muntaha () menghadirkan berbagai interpretasi hermeneutis yang begitu "jero" (mendalam).

Dalam perspektif ontologis, peristiwa ini mendemonstrasikan interkoneksi antara alam nasut ( ) dan alam malakut ( ) - mirip dengan konsep "alam kasar" dan "alam alus" dalam pemahaman Jawa. Jika kita analogikan dengan humor akademis, hubungan kedua alam ini seperti relasi antara mahasiswa dan deadline: terlihat mustahil untuk bertemu, namun selalu ada jalan misterius yang mempertemukannya di detik-detik terakhir.

Signifikansi epistemologis perjalanan ini menawarkan metodologi pengetahuan yang bersifat illuminatif (), di mana pengalaman spiritual direct-intuitive () berkorespondensi dengan realitas metafisis. Dalam kearifan Jawa, ini mirip dengan konsep "ngerti sakdurunge winarah" - memahami sebelum diberitahu, sebuah kemampuan yang sangat didambakan mahasiswa saat ujian dadakan. Sungguh, kemampuan intuisi semacam ini bahkan membuat formula Heisenberg's Uncertainty Principle tampak seperti teka-teki bungkus permen sugus (Generasi 90-an ada yang inget gak, guys? Wkwkw).

Dimensi "laku" dalam tradisi Jawa sangat beresonansi dengan aspek spiritual Isra' Mi'raj. Sebagaimana "tapa brata" yang memerlukan dedikasi penuh, pencapaian ma'rifatullah ( ) melalui proses tazkiyatun nafs ( ) juga membutuhkan konsistensi yang tinggi - tidak seperti janji politik atau resolusi tahun baru yang seringkali "mung neng lambe" (hanya sebatas ucapan).

Dalam konteks "kawruh" modern, interpretasi hermeneutis terhadap Isra' Mi'raj memberikan kontribusi signifikan dalam berbagai domain keilmuan. Dalam psikologi transpersonal, ini seperti "ilmu titen" yang diaplikasikan pada level kosmos - sebuah observasi yang bahkan membuat Carl Jung menggaruk-garuk kepala. Para neurosaintis kontemporer yang meneliti meditative states mungkin bisa belajar dari konsep "manjing ajur ajer" - menyatu dalam kekosongan, sebuah kondisi yang ironisnya mirip dengan otak mahasiswa setelah ujian komprehensif.

Filosofi Jawa "sangkan paraning dumadi" (asal dan tujuan kehidupan) mendapatkan elaborasi mendalam melalui peristiwa Isra' Mi'raj. Transendensi dimensi ruang dan waktu dalam perjalanan ini mengingatkan pada konsep "nunggak semi" - keberlanjutan spiritual yang tak terputus, berbeda dengan koneksi WiFi kampus yang seringkali "putung tengah dalan" (terputus di tengah jalan).

Dalam ranah sosial-kemasyarakatan, prinsip "sepi ing pamrih rame ing gawe" (bekerja tanpa mengharapkan imbalan) yang diajarkan dalam tradisi Jawa mendapatkan legitimasi spiritual melalui peristiwa ini - sebuah konsep yang mungkin akan membuat Adam Smith dan para ekonom klasik mengajukan revisi tesis mereka tentang rational self-interest, andai saja mereka tidak terlalu sibuk menghitung invisible hand di pasar modal.

Isra' Mi'raj, dengan demikian, bukan sekadar "dongeng" sebagaimana sering disalahpahami oleh para skeptis positivistik yang terlalu "kedungsangan" (keras kepala), melainkan paradigma epistemologis yang menawarkan framework komprehensif untuk memahami realitas multidimensional. Layaknya "tumpeng" yang memiliki berbagai lapisan makna dalam tradisi Jawa, peristiwa ini menghadirkan multiinterpretasi yang bahkan membuat Derrida malu-malu dengan konsep dekonstruksinya. Sungguh, dalam mengkaji peristiwa agung ini, kita diingatkan pada pepatah Jawa: "ngelmu iku kalakone kanthi laku" - pengetahuan sejati hanya bisa diraih melalui praktik spiritual yang konsisten, bukan sekadar mengumpulkan nilai A+ dalam transkrip akademik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun