Di sebuah negeri yang pernah bermimpi besar akan demokrasi sejati, angin perubahan kini membawa kisah lain---kisah tentang keluarga, kekuasaan, dan hukum yang lentur seperti karet. Dahulu, rakyat negeri ini menaruh harapan pada seorang pemimpin dari rakyat biasa, seorang yang dianggap akan membawa perubahan dan keadilan. Namun, waktu dan kekuasaan ternyata mengubah segalanya.
Lihatlah, kini di negeri itu, seorang bapak yang dulu dielu-elukan, kini dengan lihainya memainkan bidak-bidak catur kekuasaan. Setelah berhasil menjadikan anak sulungnya wakil pemimpin negeri, kini langkahnya semakin mantap untuk menyiapkan anak bungsu dalam pertarungan merebut ibu kota. Untuk itu, aturan yang seharusnya tegak lurus pun, ibarat tanah liat, dibentuk ulang sesuai kehendak. Dan para wakil rakyat, alih-alih menjadi penegak hukum, malah seperti penonton yang bersorak menyaksikan drama ini.
Bayangkan sebuah panggung besar, di mana demokrasi yang kita kenal hanya menjadi layar tipis yang mudah disingkap. Di balik layar itu, berdiri dinasti---sebuah kekuasaan yang diwariskan, bukan melalui pilihan rakyat, tetapi melalui permainan kekuasaan yang disusun dengan hati-hati. Konstitusi, yang seharusnya menjadi benteng terakhir, kini menjadi korban pertama dalam upaya ini.
Ada sebuah istilah lama, "kuasa itu manis," dan seperti anak kecil yang mencicipi gula untuk pertama kalinya, kekuasaan tak pernah cukup. Dalam perjalanan sejarah, banyak yang tergoda dan akhirnya lupa akan tanggung jawab mereka kepada rakyat. Apakah ini takdir semua penguasa? Ataukah hanya cerita negeri ini?
Kita yang menyaksikan, hanya bisa bertanya dalam hati, apakah negeri ini masih menjadi negeri hukum atau sudah menjelma menjadi negeri dinasti? Dan jika benar begitu, apa yang tersisa untuk kita, rakyat jelata? Sebab, ketika hukum bisa dibengkokkan dan demokrasi hanya menjadi kata tanpa makna, apakah masih ada harapan yang tersisa?
Mungkin, ini hanya kisah lain dari panggung dunia yang penuh ironi. Atau, mungkin ini adalah saatnya kita semua mulai menyadari bahwa perubahan sejati tak datang dari mereka yang berada di puncak, tetapi dari gerak kecil yang tak terlihat---dari bisikan ke bisikan, dari langkah ke langkah, dari satu hati ke hati lainnya.
Salam dari negeri yang berubah, atau lebih tepatnya: negeri yang sedang berusaha menemukan dirinya kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H