Laki-laki bicara mengenai perempuan, sama sekali tidak otentik. Ya, betul sekali. Saya juga merasakan hal tersebut. Menurut saya, ada beberapa alasan yang mendasari mengapa kemudian laki-laki tidak otentik ketika berbicara mengenai perempuan. Alasan pertama adalah karena laki-laki bukanlah perempuan. Terdengar aneh memang pernyataan di atas. Tapi memang begitulah adanya. Justru karena laki-laki bukanlah perempuan dan tidak akan pernah bisa menjadi perempuan seutuhnya (termasuk teman-teman transpuan, saya memiliki beberapa teman transpuan, mereka sangat asyik untuk diajak curhat tapi juga mau ikut dorong motor kalo mogok). Hal ini juga berlaku sebaliknya, mereka yang dari perempuan mengubah dirinya menjadi laki-laki, mereka tidak mungkin bisa menjadi laki-laki seutuhnya. Mungkin secara fisik menjadi terlihat seperti laki-laki, tapi karakter dan pembawaan (termasuk cara berpikir) laki-laki tidak mungkin bisa mereka tiru. Ini sudah menjadi seperti default dari sononya, setelan pabrik, nature-nya. Memang begitu.
Jika alasan pertama terkesan mengada-ada. Baiklah. Kita lanjutkan alasan kedua yang saya hampir yakin semua orang akan setuju. Alasan kedua kenapa kemudian laki-laki yang berbicara tentang perempuan tidak akan pernah otentik adalah karena laki-laki tidak bisa dan tidak akan pernah bisa mengalami penderitaan seperti yang dialami oleh perempuan. Makna penderitaan bagi laki-laki dan perempuan sangatlah berbeda. Contoh kecil saja, laki-laki tidak mungkin bisa dan tidak akan pernah bisa merasakan nyerinya sakit menjelang datang bulan. Misal perempuan diminta untuk menggambarkan penderitaan tersebut kepada laki-laki, laki-laki selamanya hanya dapat membayangkan rasa sakitnya tanpa pernah bisa merasakan hal tersebut terjadi pada dirinya. Ini seperti menjelaskan rasa madu kepada orang yang sama sekali tidak pernah mencicipi madu. Mau dibilang rasanya seperti gula, mau dibilang rasanya seperti manisan, kedua sama-sama bukanlah rasa dari madu itu sendiri. Misalnya lagi mengenai kehamilan. Hanya perempuan yang dapat memaknai perjuangan (dan mungkin sekaligus penderitaan bagi sebagian orang) ketika mengandung selama 9 bulan tersebut. Laki-laki tidak akan pernah mengerti rasa bahagia serta suka duka selama 9 bulan tersebut. Belum lagi ketika melahirkan. Saya tidak tahu apakah gambaran-gambaran yang selama ini disebarkan di dalam buku-buku dan media mengenai rasa sakit dan penderitaan ketika proses melahirkan tersebut berlangsung mendekati aslinya atau sama sekali jauh. Seringkali juga ada cerita-cerita mengenai rasa sakit serta penderitaan yang berbeda-beda. Ada yang hanya merasa sedikit sakit, ada yang sangat sakit sampai-sampai tidak kuat untuk melanjutkan. Nah, istilah "sedikit sakit" ini saja, laki-laki tidak akan mengerti sejauh mana yang dimaksud dengan "sedikit" ini.
Alasan ketiga kenapa kemudian laki-laki tidak otentik ketika berbicara tentang perempuan adalah bahwa laki-laki tidak pernah mengerti kebutuhan dari perempuan serta tidak mungkin bisa memahami cakrawala pemikiran dari perempuan itu sendiri. Ketidaktahuan ini yang membuat tulisan-tulisan laki-laki yang berbicara mengenai perempuan tidak mungkin otentik. Sederhananya begini, seseorang yang belum pernah mengalami sesuatu, tidak akan cukup mampu untuk menggambarkan bagaimana sesuatu tersebut. Karena selamanya tulisan laki-laki mengenai perempuan adalah berasal dari sumber kedua; perempuan itu sendiri. Tidak akan pernah menjadi sumber primer.
Tentu alasan-alasan tersebut memiliki pro-kontranya sendiri-sendiri. Saya sangat mengapresiasi laki-laki yang mau berbicara mengenai masalah-masalah perempuan. Tentu sebuah upaya yang penuh perjuangan (ada kisah satu ulama yang mempelajari fikih perempuan dan menghabiskan waktu bertahun-tahun), serta tidak mungkin mudah. Jelas hal tersebut merupakan upaya yang sangat-sangat patut diapresiasi.
Kenapa kemudian saya menulis alasan-alasan di atas? Dalam suasana monumental memperingati Hari Kartini ini, saya ingin mengajak para perempuan untuk mengatakan dirinya sendiri, meluapkan imajinasinya melalui tinta-tinta digital, juga menyatakan pendapat-pendapatnya mengenai banyak hal yang mana melalui hal tersebut, saya sebagai laki-laki, dapat memperoleh wawasan yang otentik dari sumber primernya. Saya belajar banyak dari tulisan-tulisan mengenai perempuan yang ditulis oleh perempuan itu sendiri sehingga saya mendapat perspektif yang lebih luas dan original. Baik itu novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El-Shadawy, buku Kemuliaan Perempuan dalam Islam karya Musdah Mulia yang berbicara banyak mengenai perempuan, bahkan buku Sacred Nature dari Karen Armstrong menjadi salah satu sumber penelitian tesis magister saya.
Semangat Kartini adalah semangat agar perempuan membebaskan diri dan pikirannya sehingga hal tersebut membuka ruang-ruang pembebasan yang lain. Keterlibatan perempuan dalam politik, hukum, ekonomi, hukum serta agama masih jauh panggang dari api. Utamanya dalam hal literasi dan pendidikan. Padahal saya kira, hal utama yang diajarkan Kartini pada perempuan-perempuan generasi setelahnya adalah semangat untuk berpikir, semangat untuk membebaskan pikiran, serta semangat untuk menyatakan pikiran-pikiran perempuan ke ruang publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H