Disudut kamar, aku terisak.
Menahan air mata, ingus dan gumpalan reak.
Mengingat dia, yg meninggalkanku tanpa jejak.
Dia?!
Siapa dia?
Aku tak mengenalnya.
Bahkan aku tak pernah ingat aku pernah menatapnya.
Tapi aku tau dia ada di dekatku.
Bersemayam di sela pembuluh arteri ku.
Sesekali berenang di arus deras aliran darah ke otakku.
Dan merusak mimpi mimpi malamku.
Aku tak terganggu.
Malah ku terus menunggu masa itu.
Dia?!
Mungkin kata dia terlalu kasar terdengar.
Untuk orang yang meregang nyawa demi aku anaknya.
Yang menjadi benalu perusak tubuh.
Sembilan bulan menyerap semua asupan gizi yang beliau makan.
Dan membunuhnya perlahan dengan tangisan perkenalan.
Walau beliau membalas dengan tangis bahagia.
Senyum yang membawanya ke nirwana.
Senyum pertamanya berstatus Ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H