[caption id="" align="aligncenter" width="565" caption="Jokowi Setiap Blusukan Membagikan Buku Tulis Kepada Anak-anak, Tampaknya ada filosofi yang dalam pada kegiatan tersebut (Foto/Tribun)"][/caption]
Selangkah lagi karir politik Jokowi akan sempurna jika ia menang dalam pemilihan presiden Republik Indonesia kali ini. Hadirnya Jokowi di panggung politik nasional tidak pernah diduga oleh banyak orang, baik oleh para pemain politik di Jakarta, pengurus politik partai di Jakarta, para petualang politik di Senayan, atau Jokowi sendiri mungkin tidak menyangka dia akan menjadi satu dari dua pasangan capres pada pesta demokrasi tahun 2014.
Hadirnya Jokowi yang diluar prediksi itu sontak membuat peta politik berubah drastis. Mereka yang tadinya menghabiskan dana milyaran rupiah untuk iklan perkenalan diri ke publik sebagai kandidat presiden perlahan mulai surut bahkan mengerucut menjadi dua pasang calon saja, Joko Widodo salah satunya. Jokowi tidak pernah beriklan ke publik untuk pencalonan dirinya sebagai calon presiden, namun kerja "blusukannya" menjadi santapan renyah para pencari berita sehingga mantan walikota Solo ini otomatis hadir tiap hari di layar kaca pemirsa televisi sejak menjadi calon hingga menjadi Gubernur DKI Jakarta--belum lagi jika bicara soal liputan media luar negeri.
Wajah Jokowi yang menghiasi layar televisi karena sering diikuti para awak media seperti menjadi hiburan tersendiri bagi warga Jakarta khususnya karena baru kali ini, setelah Ali Sadikin, mereka mendapatkan pemimpin yang hadir ditengah-tengah masyarakat. Pasangan Jokowi-Ahok tampil beda dengan figur-figur pemimpin Jakarta sebelumnya, keduanya mendatangi pusat-pusat masalah yang selama ini tampak tidak punya solusi alias buntu. Banjir, kemacetan, lambannya birokrasi, manajemen administasi, kemiskinan yang merajalela dan mentalitas menjadi pekerjaan rumah yang pertama kali mereka bereskan. Jokowi tiap hari keliling ke tempat masalah untuk memastikan birokrasi hadir melayani masyarakat, ia turun ke gorong-gorong untuk melihat bahwa saluran air di Jakarta memang tidak cukup untuk menyalurkan air banjir, ia hadir di pasar-pasar rakyat untuk sekedar mendengar keluhan para pedagang kecil yang selama ini kerap digusur oleh kekuatan pemodal yang leluasa membangun mall dan apartemen di ibu kota.
Pada era Jokowi-Ahok sekelumit persoalan di atas seperti memiliki jalan keluar. Banjir dijawab dengan pengerukan sejumlah waduk, mesin pompa air diperbanyak, birokrasi Jakarta disiagakan kapanpun dibutuhkan ketika banjir datang. Transportasi publik yang puluhan tahun terbengkalai di meja pembuat kebijakan akhirnya resmi dilanjutkan meski sudah terlambat jauh dari negara tetangga di kawasan ASEAN, pemda DKI memberi kemewahan kepada warganya dalam bentuk Kartu Jakarta Sehat dan Pintar. Era Jokowi ditandai juga dengan pembangunan kesadaran bahwa menjaga Jakarta tidak hanya tugas pemda tetapi juga warga dan perusahaan yang tinggal di Ibu Kota, sehingga dengan pendekatan ini perusahaan berlomba-lomba menggelontorkan dana CSR untuk pertamanan, perumahaan atau bahkan menyumbang bus sekalipun.
Persoalan Jakarta dalam dua tahun pemerintahan Jokowi memang belum banyak berubah, namun secara umum ia berhasil menghentak birokrasi yang selama ini jalan di tempat, ia juga mengingatkan arti pemimpin yang hadir ditengah-tengah rakyat menjawab persoalan. Masyarakat Indonesia yang tiap hari menyaksikan Jokowi kerja "blusukan" mulai jatuh cinta dengan sosok sederhana ini. Bagi mereka yang jatuh cinta dengan Jokowi menginginkan agar pemimpin seperti Jokowi muncul di daerah-daerah atau opsi paling dekat adalah menjadikan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia pada pilpres 2014. Cinta publik dan gelombang dukungan juga ikut mengubah pandangan politik elit, PDI P dibawah Megawati bahkan luluh hatinya melihat konstelasi politik yang mulai bergerak dinamis karena gerakan warga meminta agar Jokowi dicapreskan!
Perkenalan Lama
Saya pribadi tidak pernah bertemu langsung dengan Joko Widodo, namun namanya sudah sering saya dengar ketika masih studi dan tinggal di kota Yogyakarta. Antara tahun 2009 hingga 2011 saya melihat antara Jogja dan Solo memiliki kepala daerah yang sangat berbeda dari kepala daerah kebanyakan di tanah air, keduanya memiliki inovasi untuk menjadikan kota mereka dibangun dengan standar internasional. Ketika menghadiri pernikahan seorang teman pada tahun 2010 saya melihat sendiri bagaimana Solo ditata rapi untuk menggaet wisatawan baik lokal maupun internasional yang selama ini lebih banyak ke Jogja.
Singkat cerita Jokowi berhasil membangun "branding" kota Solo dengan slogan "Solo the Spirit of Java" sebagai salah satu kota wajib dikunjungi untuk alasan wisata budaya, festival dan tata kota yang ramah bagi warga karena banyaknya taman dan festival tahunan bernuansa kebudayaan Nusantara. Dan, puncak apresiasi saya kepada alumnus fakultas Kehutanan UGM ini adalah ketika ia berani "melawan" Gubernur Jateng Bibit Waluyo terkait persoalan pembangunan Mall di kawasan cagar budaya. Jokowi menolak tegas pembangunan mall ditengah komitmen pemerintah Solo menguatkan pasar tradisional. Sementara booming pemberitaan mobil Esemka hanya bagian kecil dari komitmen Jokowi untuk melihat perubahan datang dari daerah, membangun industri daerah yang selama ini tidak mendapat tempat di pikiran para pembuat kebijakan di Jakarta (untuk urusan prestasi Jokowi bisa dilihat disini).
Jokowi yang Malang
Persis ketika Jokowi mendapat mandat dari ketua umum PDI P untuk maju sebagai capres, Jokowi yang lugu dan sederhana sontak menjadi “sasaran tembak” para calon presiden yang khawatir popularitas mereka tersaingi, sebab seperti rilis lembaga survey pada umumnya Jokowi adalah masa depan politik Indonesia karena popularitasnya untuk jabatan presiden masuk tiga besar mengungguli figur-figur yang selama ini sering tampil di televisi untuk perkenalan pencapresan mereka yang rata-rata adalah para petinggi partai--untuk tidak mengatakan pemilik partai.
Serangan atas Jokowi semakin massif ketika ia secara resmi didaftarkan menjadi Capres didampingi Jusuf Kalla. Fitnah dan serangan bertubi-tubi dilancarkan kepada Jokowi entah menyebut Jokowi "boneka", "pembohong", "tidak amanah", hingga pembunuhan karakter bernuansa SARA kepada diri dan keluarga Jokowi lewat media mainstream ataupun media dadakan yang dibuat khusus untuk menghabisi citra Jokowi yang sedang unggul di hati publik luas (untuk serangan terhadap Jokowi bisa dilihat disini).
Jokowi lagi-lagi dengan penuh sopan santun jauh dari kesan politisi kader partai membiarkan para penyerangnya untuk berbicara sesuka hati dan fokus pada ide besar membangun Indonesia lewat program kerja berbasis "revolusi mental" dan percepatan pembangunan infrastruktur didampingi Jusuf Kalla dan dikawal oleh relawan non-partisan yang ingin Jokowi menang dalam pilpres kali ini.
Membuka Jalan untuk Jokowi
[caption id="" align="aligncenter" width="562" caption="Jokowi saat mendapat ulasan dari Majalah Foreign Policy (Gambar/FP)"]
Jika mau jujur, Jokowi adalah anak hasil reformasi yang telah diperjuangkan oleh anak-anak muda Indonesia pada tahun 1998, ia tidak tampil di panggung politik nasional secara tiba-tiba, tetapi memulai melihat nasib rakyat di level paling rendah yaitu kota Solo. Ketika memimpin Solo ia berhasil melipatgandakan pendapatan daerah dan memakmurkan pelaku ekonomi menengah kebawah. Sementara ketika diberi tanggunjawab membangun Jakarta ia berhasil merubah mindset tata kelola pemerintahan dan mengeksekusi rencana yang terbengkalai.
Tampilnya Jokowi sebagai kandidat Presiden RI, meskipun belum menjadi Presiden, adalah prestasi dalam iklim demokrasi Indonesia karena berhasil membuka jalan bagi Jokowi yang hanya kader partai dan bukan pengurus DPP PDI P apalagi trah Sukarno. Jokowi adalah warga biasa yang tidak memiliki ambisi politik namun mendapat dukungan dari gelombang kesadaran politik warga Indonesia yang sudah jenuh karena dipimpin oleh pemimpin yang muncul karena ikatan kekerabatan atau sistem feodal yang dipelihara di level elit.
Jika perjuangan reformasi satu dekade silam adalah membersihkan Indonesia dari rezim masa lalu yang korup maka Jokowi adalah generasi reformasi yang layak diperjuangkan untuk alasan memutus hubungan dengan masa lalu yang penuh dosa pada bangsa Indonesia.
Untuk alasan tertentu saya sangat gembira ketika Jokowi keluar sebagai pemenang dalam pilkada DKI meskipun dikepung oleh kekuatan Partai Demokrat dan partai mitra koalisinya di pemerintahan, kemenangan Jokowi ketika itu saya anggap sebagai hukuman dan kritik bagi partai pemerintah yang gagal menjalankan amanat rakyat. Kali ini komposisinya tidak banyak berubah, Jokowi berhadapan langsung dengan kekuatan tenda besar koalisi partai, sementara Jokowi dengan dukungan partai secukupnya dikawal solidaritas warga yang ingin menciptakan perubahan kultur politik yang selama ini tidak membawa kemajuan bagi bangsa.
Akhir kata, silahkan menilai pilihan saya berdasarkan argumentasi yang saya tawarkan. Adapun jika anda punya pilihan berbeda itu adalah hak konstitusional anda dan sangat saya hargai. Semoga calon saya dan calon anda keluar sebagai pemenangnya, sebab setelah ini kita tetap saudara sebangsa. Selamat Berpuasa, Salam Demokrasi Warga dan Salam Dua Jari!!
-M. Sya'roni Rofii-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H