Abad ketujuh belas merupakan masa sulit sekaligus titik tolak bagi perkembangan pemikiran filsafat, terutama filsafat modern. Saat itu, banyak orang mulai mencari solusi baru untuk memecahkan masalah-masalah lama filsafat, berimplikasi munculnya keraguan akan kepercayaan-kepercayaan lama. Di masa tersebut, muncul Rene Descartes, salah seorang Aristotelian dan sang Inisiator filsafat modern dengan pandangan bahwa jika seseorang mulai meragukan sesuatu, orang tersebut juga melakukan sesuatu lain yang berguna.
Renatus Cartesius –nama lain Descartes, seringkali berseberangan pendapat dengan para filsuf pendahulunya. Dia membuang semua kepercayaan lama, dan mulai membangun fondasi baru. “Hanya kebenaran yang bisa dilihat melalui akal murnilah yang bisa diterima.”, begitu katanya. Melalui proses keraguan metodologis, dia menarik diri sepenuhnya dari kebenaran empiris. “Setiap saat aku bisa bermimpi dan akal sehatku bisa tertipu oleh inderaku” lanjutnya.
Agaknya, pemikiran Renatus terpengaruh latar belakangnya yang memang dibesarkan secara agamis dalam Yesuit (Serikat Yesus). Religiusitas Renatus terlihat dalam keyakinan bahwa Tuhan itu ada dan tidak menipu dia. Tuhan tidak dapat diciptakan oleh manusia karena Dia Sang Kesempurnaan.
Jadi, mana mungkin sesuatu yang sempurna dibuat oleh sesuatu yang tidak sempurna? Justru kesempurnaan Tuhan yang menyebabkan sebuah gagasan bisa menjadi sempurna. Hal tersebut menjadi bukti utama keberadaan Tuhan tidak dapat dipisahkan dari pemikiran manusia.
Dalam meditasinya dia bertanya pada dirinya sendiri, “Bagaimana kau bisa yakin akan sesuatu dan kemudian mengembangkan segala macam alasan inventif? Mengapa kau harus tidak percaya pada indra?” pertanyaan-pertanyaan tersebut melahirkan konsep skeptisisme dan dualisme ala Renatus yang menginformasikan masalah pikiran-tubuh, untuk mendefinisikan sebuah konsepsi tentang pikiran manusia.
Skeptisisme dan dualisme pikiran-tubuh digabungkan untuk menciptakan pemahaman tentang pikiran manusia, terkunci dalam tubuh dan dipisahkan dari dunia, bagaimana pikiran bisa mengetahui dunia adalah sebuah misteri, dan kepastian pengetahuan ini dipertanyakannya dengan tajam.
Konsep pikiran semacam ini merupakan hal natural, bahwa terkadang sulit untuk memahami bahwa dunia memiliki pandangan sendiri yang sayangnya jauh kurang skeptis terhadap pengetahuan dan persepsi inderawi.
Renatus merefleksikan kepalsuan yang dia percaya sebelumnya dan pada kesalahan pengetahuan yang telah dia bangun dari kepalsuan itu –segala sesuatu yang telah diterima sebagai kebenaran melalui indra melalui keraguannya, bahkan pada hal-hal sederhana.
Idenya bukan karena keraguan terhadap seberapa besar peluang terjadinya sebuah kemungkinan, namun terhadap kemungkinan yang tidak akan pernah bisa dikesampingkan, semisal kemungkinan tim tanpa sejarah, Manchester City untuk menjuarai Liga Champion. Maka dari itu, bila tidak pernah bisa yakin, bagaimana bisa mengklaim untuk tahu sesuatu. Iya, to?
Tidak ada yang benar-benar bisa hidup dalam skeptisisme –tidak ada yang benar-benar meragukan apakah orang lain benar-benar ada– tapi juga sangat sulit untuk menghilangkan skeptisisme. Namun, yang harus dititik beratkan adalah bahwa skeptimisme Renatus selalu terkait dengan metodologi dan rasionalitas. Artinya, ia tidak meragukan sesuatu secara acak, namun juga memberikan alasan yang kuat kenapa harus ragu.
Renatus secara teguh mencari kepastian dan membuang sesuatu yang salah, dan terbuka terhadap keraguan sekecil apa pun. Dia ingat ucapan Archimedes yang terkenal bahwa dia bisa menggeser seluruh bumi dengan satu titik tak tergoyahkan. Sama, dia berharap bisa mencapai hal-hal besar jika dia bisa yakin akan hanya satu hal. Dia menduga bahwa apa yang dia lihat tidaklah nyata, ingatannya salah, bahwa dia tidak memiliki indra dan tidak memiliki tubuh, gerakan dan tempat adalah gagasan yang salah. Mungkin –katanya, satu-satunya hal yang tersisa adalah tidak ada kepastian.