Mohon tunggu...
ziyad al insan
ziyad al insan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Bagian dari Mahasiswa Pecinta Alam, mencoba untuk lebih sadar dan peduli terhadap Bumi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Imunitas Negara dan Pencemaran Lintas Batas: Kebakaran Hutan Indonesia dalam Perspektif Hukum Internasional

5 Desember 2024   02:58 Diperbarui: 5 Desember 2024   03:07 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sudah seberapa buruk?

Hutan-hutan di Indonesia merupakan anugerah dan berkah, sebagai negara kepulauan dengan sumber daya alam melimpah Indonesia memiliki pontensi besar. Alam dengan keanekaragamnya juga menggambarkan "corak" berwarna negeri ini, lantas bagaimana jika manusia mulai tidak peduli terhadap lingkungan dan alam? Alih-alih menjaga dan melestarikan malah terjerumus kedalam praktik eksploitasi habis-habisan. Dari segala contoh kasus yang terjadi, kebakaran kutan dan lahan (karhutla) mengoyak kesadaran kita akan pentingnya menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Bak "senjata makan tuan" asap-asap kebakaran hutan masuk ke dalam sistem pernafasan dan menyebabkan penyakit seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Memang, kasus karhutla ini sudah tertinggal beberapa tahun kebelakang (2015-2023) tapi ini merupakan bentuk reminder kepada kita bahwa alam jangan disepelekan.

Di tahun 2023 menurut Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terdapat 10 provinsi paling rawan kebakaran hutan dan lahan yakni Sumatra Utara, Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, dan Papua. Menteri KLHK Siti Nurbaya menyebutkan lebih dari 2.608 titik api telah terdeteksi di provinsi-provinsi tersebut hingga September 2023. Untuk kasus ISPA sendiri, Kepala Dinas Kesehatan Sumatra Selatan Trisnawarman mengatakan terjadi peningkatan 4.000 kasus ISPA dalam sebulan sejak Juli hingga Agustus 2023. Sedangkan di Jambi, dalam lima hari pertama September telah terdeteksi sebanyak 1.097 kasus ISPA. Padahal pada Juli lalu, tercatat sebanyak 6.709 kasus ISPA dalam sebulan.

Asap mulai beranjak, dengan 90% peristiwa karhutla di Indonesia "disebabkan oleh ulah manusia", sedangkan kondisi panas yang dipengaruhi El Nino "hanya katalis yang mempercepat kebakaran", menurut Pak Abdul Muhari dari BNPB. Tak hanya itu, manajer kampanye hutan Walhi, Uli Arta Siagian mengatakan fenomena El Nino hanya "pemantik" dan prediksi akan situasi ini semestinya bisa dimitigasi oleh pemerintah untuk mencegah karhutla. Atas "kesalahan manusia" ini negara tetangga mulai "batuk-batuk" karena asap dari kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Negara-negara seperti Singapura dan Malaysia yang notabene berbatasan langsung dengan daerah-daerah karhutla tersebut turut merasakan akibatnya, bahkan kabut asap telah berulang kali menjadi masalah di kawasan Asia Tenggara, terutama ketika kebakaran hutan masif terjadi pada 2015 dan 2019. Kristalisasi dari isu karhutla ini menggerakan ASEAN untuk membentuk Pusat Koordinasi Pengendalian Pencemaran Asap Lintas Batas Tingkat Regional ASEAN atau ASEAN Coordinating Centre for Transboundary Haze Pollution Control (ACC THPC). Pertanyaan pun muncul, dengan fenomena lingkungan lintas negara ini Bagaimana hukum internasional memandang tanggung jawab negara dalam kasus ini?.

Imunitas Negara dan Isu Lingkungan

Doktrin hukum internasional yang dikenal sebagai "imunitas negara" melindungi negara dari yurisdiksi pengadilan negara lain. Konsep ini didasarkan pada gagasan bahwa semua negara memiliki kedaulatan yang sama, yang berarti bahwa tidak ada satu negara yang dapat memaksakan hukum negaranya terhadap hukum negara lain. Immunitas ini tidak bersifat absolut, bagaimanapun. Imunitas sering kali dibedakan antara tindakan negara berdaulat (acta jure imperii) dan tindakan negara komersial atau privat (acta jure gestionis). Dalam konteks lingkungan, sejauh mana perlindungan negara melindungi dari tanggung jawab atas kerusakan lintas batas, seperti kabut asap yang disebabkan oleh kebakaran hutan?

Negara-negara yang terkena dampak pencemaran lintas batas sering kesulitan untuk menggugat negara penyebab karena prinsip imunitas ini. Dalam kasus kebakaran hutan di Indonesia, negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia benar-benar mengalami kerugian akibat kabut asap, tetapi Singapura dan Malaysia tidak dapat langsung menuntut Indonesia di pengadilan internasional tanpa persetujuan Indonesia. Ini karena kedaulatan negara tetap dihormati oleh hukum internasional, bahkan dalam kasus di mana pengaruh lintas batas berbahaya. Singapura, misalnya, telah mencoba menekan Indonesia melalui diplomatik dan perjanjian regional seperti Perjanjian ASEAN tentang Pencemaran Transboundary Haze, tetapi upaya ini seringkali berhenti pada komitmen tanpa tindakan.

Namun, imunitas negara memiliki pengecualian yang signifikan, yang dapat membuka peluang untuk pertanggungjawaban. Di bawah hukum kebiasaan internasional, prinsip no harm rule menyatakan bahwa negara bertanggung jawab untuk memastikan bahwa tindakan yang terjadi di yurisdiksinya tidak menyebabkan kerugian pada negara lain dalam kasus pencemaran lintas batas. Presiden seperti Perselisihan Smelter Trail (1938 dan 1941) menunjukkan bahwa negara dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan lintas batas jika mereka tidak bertanggung jawab atas kelalaian mereka. Meskipun kasus ini menjadi landasan hukum, tetap sulit untuk menerapkannya dalam konteks kebakaran hutan di Indonesia karena diperlukan bukti langsung antara tindakan negara dan kerusakan yang terjadi.

Tekanan diplomatik dan kerja sama regional sering kali menjadi opsi utama dalam menghadapi kebuntuan hukum ini. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution adalah langkah awal yang bagus, tetapi akan berhasil jika semua pihak, termasuk Indonesia, berkomitmen untuk menerapkannya. Kebakaran hutan di Indonesia menunjukkan tantangan besar bagi hukum internasional untuk mengimbangi kedaulatan negara dengan kebutuhan mendesak akan perlindungan lingkungan. Di masa depan, hal-hal penting mungkin terjadi jika doktrin imunitas diubah atau mekanisme internasional yang lebih efisien dibuat.

Doktrin imunitas negara merupakan kendala utama dalam mengatasi kebakaran hutan di Indonesia melalui jalur hukum internasional. Di bawah hukum internasional, sebuah negara memiliki hak untuk dilindungi dari yurisdiksi pengadilan negara lain, bahkan jika tindakan atau kelalaian negara tersebut berdampak negatif pada negara lain. Ini adalah hambatan utama karena negara-negara seperti Malaysia dan Singapura tidak dapat menggugat Indonesia tanpa persetujuan mereka, meskipun mereka menderita akibat kebakaran hutan di Indonesia. Terlepas dari besarnya kerugian yang diakibatkan oleh kebakaran, imunitas ini sering kali melindungi negara dari pertanggungjawaban langsung (ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 2002).

Negara yang dirugikan harus menunjukkan bukti yang menghubungkan kerusakan dengan kelalaian negara penyebab. Ini merupakan masalah lain dengan faktor pembuktian. Ketika banyak pihak terlibat dalam kebakaran, termasuk perusahaan swasta, masalahnya semakin kompleks. Selain itu, persetujuan antarnegara seringkali diperlukan untuk jalan hukum internasional. Meskipun negara-negara tetangga lebih cenderung menggunakan jalur diplomatik daripada jalur hukum, kepentingan nasional Indonesia---terutama industri kelapa sawit, yang bergantung pada pembukaan lahan melalui pembakaran (Purnomo et al., 2017) menghalangi upaya ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun