Mohon tunggu...
Ziyadah Amalia Farah
Ziyadah Amalia Farah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah orang yang sangat suka membaca, apalagi jika cerita yang saya baca sangat dekat dengan realita kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tersesat di Jalan yang Benar

8 November 2024   09:20 Diperbarui: 8 November 2024   09:32 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkenalkan nama saya Ziyadah Amalia Farah. Saya baru saja melewati sebuah perjalanan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Semua berawal dari mimpi besar yang saya bangun sejak awal masa SMA. Saya sangat menginginkan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi melalui jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Saya telah membayangkan diri ini duduk di kampus impian, berhasil lolos seleksi tanpa harus mengikuti ujian. Ketika mengingat masa-masa itu, saya merasa sudah menyiapkan segalanya dengan matang. Banyak orang mengatakan bahwa SNBP adalah seleksi yang memiliki tingkat kesulitan tersendiri. Kuncinya terletak pada strategi dan kesiapan diri. Saya tidak ingin bersikap sembarangan. Saya sudah menyusun pilihan jurusan dan universitas yang menurut saya memiliki peluang besar. Teman-teman saya mengatakan bahwa saya terlalu optimistis, namun saya tidak peduli. Saya yakin, dengan segala usaha yang telah saya curahkan untuk memperoleh nilai rapor yang baik, saya pasti akan berhasil. Hari pengumuman SNBP pun tiba. Saya duduk di depan laptop dengan jantung berdegup kencang, seperti sedang menghadapi ujian kembali. Setelah menunggu beberapa detik yang terasa sangat lama, hasilnya pun keluar. Nama saya tercantum tetapi ditandai dengan latar belakang merah menyala (tidak lolos). Saya benar-benar bingung, rasanya seperti mendapat tamparan keras. Padahal saya telah menggunakan strategi yang matang, tetapi tetap tidak diterima. Mungkin memang bukan jalannya. Setelah kegagalan di SNBP, saya tidak ingin berhenti di sana. Saya masih memiliki kesempatan melalui Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT). Kali ini, saya berjuang melalui jalur lain. Saya mengikuti tryout-tryout dari sekolah dan media sosial, belajar hingga larut malam, bahkan menyusun strategi baru untuk menghadapi soal-soal SNBT nanti. Rasanya tidak ada hari yang terlewat tanpa berlatih mengerjakan soal. Teman-teman dekat saya mengatakan bahwa saya terlalu serius, namun saya berpikir, jika bukan sekarang, kapan lagi?

Hari ujian pun tiba. Saya duduk di kursi ujian dengan kepala penuh persiapan. Soal-soal yang diberikan memang tidak mudah, namun saya telah berusaha sebaik mungkin. Setelah ujian selesai, saya merasa cukup lega. Meskipun tidak sepenuhnya yakin, setidaknya saya sudah memberikan seluruh kemampuan yang saya miliki. Kemudian, tibalah saat pengumuman hasil. Saya memasukkan data diri di laman resmi, menunggu dengan jantung berdebar-debar, dan saya menerima pesan, "JANGAN PUTUS ASA DAN TETAP SEMANGAT." Tentu saja, perasaan saya hancur lagi. Saya benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Rasanya seperti semua usaha yang saya curahkan menjadi sia-sia. Dua kali ditolak, dua kali gagal masuk universitas melalui jalur yang seharusnya bisa saya lewati. Saat itu, saya mulai berpikir, mungkin ini adalah pertanda untuk mengambil gapyear. Godaan untuk memilih jalan tersebut cukup kuat, terutama karena beberapa teman yang juga gagal memutuskan untuk beristirahat selama satu tahun, mempersiapkan diri lebih baik, dan mencoba lagi tahun berikutnya. Pikiran untuk mengambil gapyear terus muncul di benak saya. Namun, di saat yang sama, saya merasa takut. Takut jika tahun depan saya tetap gagal. Takut kehilangan momentum. Takut akan banyak hal lainnya. Selain SNBP dan SNBT, saya juga sempat daftar ke Sekolah Kesehatan. Di sana saya diwajibkan mengikuti ujian berbasis komputer, dan jujur, saya merasa cukup percaya diri dengan pilihan ini. Namun, ternyata saya melakukan kesalahan fatal, sehingga kesempatan tersebut saya sia-siakan dan tidak dimanfaatkan dengan baik. Pada saat itu, rasanya seolah semua pintu tertutup di hadapan saya. Saya gagal di SNBP, SNBT, dan Poltekkes. Saya mulai meragukan diri sendiri, apakah ini karena saya tidak cukup cerdas? Apakah usaha saya kurang? Apakah saya memang tidak layak untuk melanjutkan kuliah?

Waktu berlalu, dan saya harus membuat keputusan cepat. Pilihan untuk gapyear semakin kuat, tapi di saat yang sama, aku tidak bisa mengabaikan satu opsi yang masih tersisa yaitu daftar ke salah satu Universitas Negeri Islam, dan pilihan saya jatuh di Universitas Negeri Islam Purwokerto karena dekat dari rumah. Awalnya, saya tidak terlalu memikirkan universitas ini, tapi setelah mengobrol dengan keluarga dan pertimbangan panjang, saya memutuskan untuk mencobanya. Saya mendaftar mandiri tahap 4 dengan jalur afirmasi dengan pilihan pertama prodi Ekonomi Syariah, dan pilihan kedua prodi Tasawuf dan Psikoterapi. Dalam pikiranku, prodi Ekonomi Syariah cocok dengan minat saya, sedangkan Tasawuf dan Psikoterapi itu pilihan yang lebih “alternatif” kalaupun saya tidak diterima di prodi pertama. Tapi, ternyata takdir berbicara lain. Karena saya daftar jalur afirmasi, ada penyesuaian dalam proses seleksi. Aku pikir prodi Ekonomi Syariah akan menjadi pilihan pertamaku, tapi kenyataannya prodi Tasawuf dan Psikoterapi yang justru jadi pilihan pertama. Awalnya aku kaget, dan jujur saja, ada sedikit rasa kecewa. Tetapi setelah merenung lebih dalam, aku mulai terima kenyataan ini. Tasawuf dan Psikoterapi? Kenapa tidak? Mungkin ini jalan yang memang harus saya tempuh. Sering kali, saya masih teringat akan impian-impian saya di masa lalu, gagalnya SNBP, hasil SNBT yang tidak membuahkan apa-apa, dan kesempatan di Poltekkes yang terlewatkan. Namun, setiap kali saya merenungkan semua itu, saya menyadari bahwa justru kegagalan-kegagalan tersebut yang membawa saya ke tempat yang seharusnya. Mungkin terdengar klise, tetapi hidup memang penuh dengan kejutan, dan kita hanya perlu belajar menerima setiap tikungan yang ada di depan. Apakah saya tersesat? Mungkin. Namun, apakah saya berada di jalan yang salah? Tidak. Saya tersesat di jalan yang benar, dan saya bersyukur telah sampai di titik ini. Siapa yang menyangka, dari serangkaian kegagalan, saya justru menemukan arah baru yang lebih berharga dari yang pernah saya bayangkan. Dan di sini saya sekarang, di jurusan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, belajar hal-hal yang bahkan tidak pernah terpikirkan oleh saya. Saya belajar tentang kedalaman spiritual, tentang bagaimana psikoterapi bisa selaras dengan ajaran-ajaran tasawuf, dan bagaimana itu semua bisa membantu orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun