Konsep halal telah menjadi sorotan utama dalam berbagai aspek kehidupan, tidak hanya terbatas pada makanan dan minuman, tetapi juga merambah ke sektor-sektor lain, termasuk produk-produk konsumen dan industri. Istilah "halal" sendiri berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah berarti "boleh" atau "diperbolehkan". Namun, makna halal lebih dari sekadar izin, melainkan mencerminkan kepatuhan terhadap standar moral, etika, dan agama.Â
Pada konteks kehidupan modern, perhatian terhadap kehalalan produk semakin meningkat, dan ini tidak terkecuali untuk sektor, farmasi, kosmetik, dan lainnya. Sektor-sektor ini juga perlu memperhatikan aspek kehalalan dalam proses produksi, bahan-bahan yang digunakan, dan penggunaan akhir produk tersebut.
Di negara-negara dengan populasi muslim terbanyak, produk halal akan menjadi highlight bagi mereka, karena hal tersebut merupakan upaya mereka dalam mematuhi ajaran agamanya. Berdasarkan laporan The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC) yang bertajuk The Muslim 500: The World's 500 Most Influential Muslims 2024, Indonesia merupakan negara dengan populasi muslim terbanyak di dunia. Sehingga para produsen dan perusahaan akan berlomba-lomba mensertifikasi halal produk mereka guna meningkatkan keuntungan bagi perusahaan, terutama pelaku industri halal di sektor farmasi, logistik/pariwisata, kosmetik dan makanan serta minuman.Â
Sektor-sektor tersebut tentunya tidak asing dan bukan hal yang aneh untuk disertifikasi halal. Namun, kehebohan muncul ketika kulkas halal muncul di kalangan masyarakat. Konsep kulkas halal ini tidak hanya menarik bagi masyarakat Muslim yang secara rutin memperhatikan kehalalan produk yang mereka konsumsi, tetapi juga memicu pertanyaan-pertanyaan alasan barang elektronik disertifikasi halal. Jadi apakah barang elektronik wajib disertifikasi halal?.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, MUI menegaskan bahwa selain makanan, minuman, kosmetik, dan farmasi, barang-barang gunaan juga perlu disertifikasi. Barang-barang gunaan di sini merujuk pada produk yang digunakan baik untuk pemakaian langsung, penyimpanan maupun sebagai bahan dalam pembuatan suatu produk.
Hal ini dapat dicontohkan dengan kuas atau sikat gigi sebagai barang gunaan yang ternyata bisa dibuat dari bulu babi. Dilansir dari Zeus Beard, bulu hewan yang banyak digunakan biasanya terdiri dari bulu babi dan kuda. Lalu bagaimana dengan barang elektronik?
Barang elektronik memiliki peran yang signifikan dalam pembuatan atau penyimpanan berbagai produk pangan maupun produk lainnya. Keterlibatan barang elektronik dalam industri pangan menjadi dasar penting dalam mempertimbangkan kehalalannya. Hal ini disebabkan oleh potensi kontaminasi yang mungkin terjadi jika barang elektronik tersebut mengandung zat-zat najis atau bahan-bahan yang diharamkan. Kontaminasi semacam itu dapat menyebabkan pencemaran pada produk pangan, sehingga membuatnya menjadi tidak halal atau haram untuk dikonsumsi.
Setelah melalui proses audit yang dilakukan oleh MUI, terutama terhadap produk elektronik, temuan menunjukkan bahwa beberapa produk seperti kulkas mengandung komponen asam lemak. Keberadaan asam lemak ini menjadi suatu perhatian dalam konteks jaminan kehalalan, karena sifatnya yang ambigu dan menjadi salah satu titik kritis. Kompleksitas terletak pada sumber asal asam lemak, yang bisa berasal dari bahan hewani maupun nabati. Oleh karena itu, perlu dipertanyakan lebih lanjut mengenai jenis hewan atau tumbuhan apa yang menjadi asal usul asam lemak tersebut.
Selain itu, terobosan baru oleh produsen-produsen kulkas seperti anti-bakteri atau anti bau juga dapat menjadi alasan kulkas dapat menjadi haram, karena kedua terobosan tersebut sangat berpotensi berasal dari bahan najis atau haram.
Tidak hanya kelayakan kehalalan alat elektronik saja yang harus menjadi perhatian, tetapi juga penting untuk mempertimbangkan aspek kehalalan pada aksesoris yang melengkapi alat elektronik. Sebagai contoh, casing gadget yang dapat terbuat dari kulit hewan, taplak meja, dan beragam item lainnya yang turut berperan dalam ekosistem penggunaan alat elektronik.
Harus diperhatikan bahwa komponen setiap produk elektronik itu tidak sama. Namun, penting untuk tetap memperhatikan aspek kehalalannya, terutama pada produk-produk elektronik yang memiliki peran dalam proses pembuatan atau penyimpanan pangan.