Raut muka Anwar berubah beringas. Dengan ngotot, dia mengambil kawat. Seorang pria yang duduk dengan tangan terikat di belakng kursi tepat di depan Anwar tampak pasrah. Mukanya babak belur setelah dipukuli. Darah mengucur deras membekas di sekujur kepala dan wajahnya.
sang pria ditutup wajahnya dengan kain hitam. Sekitar lima menit kemudian, Anwar sudah menarik kawat itu kuat-kuat. Si pria mengejang. Dia tidak bisa berteriak, tampaknya kawat telah menekan lehernya dengan kuat. Tak berapa lama, gerakannya mulai mengendur. Dan akhirnya terkulai lemas. Sosok itu akhirnya diam. Selamanya.
“ Saya jerat mereka pakai kawat agar darah tidak terlalu banyak muncrat. Bagaimana secepat mungkin orang-orang itu bisa mati tanpa harus banyak darah keluar. Itu takdir mereka. Sebagai komunis, mereka harus tahu kalau waktu itu mereka harus mati,” ujar Anwar Congo salah satu pelaku pembantaian terduga komunis era 1965-1966 an di daerah Medan, Sumatra Utara dalam film documenter The Act of Killing (TAoK) yang disutradarai Joshua Oppheneimer.
Kisah Anwar Congo ini hanya segelintir dari kisah pengakuan para algojo atau eksekutor para terduga komunis. Tidak hanya di Medan, sebenarnya pembantaian juga terjadi di daerah lain. Daerah Probolinggo misalnya. Juga termasuk daerah yang menjadi ladang pembantaian PKI (Partai Komunis Indonesia).
Salah seorang saksi mata yang turut menyaksikan penangkapan komunis kala itu, SP (nama samaran), mengatakan di daerah Kecamatan Kanigaran kota Probolinggo pembantaian dilakukan orang ramai. Bahkan membabi buta meskipun korbannya belum tentu PKI. Dia menuturkan seorang pemuda kenalannya yang dia ketahui tidak ikut PKI tetap diseret oleh kalangan pemuda dan masyarakat antikomunis. Mereka didampingi tentara dan polisi. Sang pemuda diseret beramai-ramai.
SP sempat berbincang sebentar dengan sang pemuda korban. Dia melihat raut muka si pemuda tersebut ketakutan. Raut sedih dan pasrah juga terlihat. Terakhir, sang pemuda mengaku tidak tahu akan dibawa kemana. Dia hanya mengatakan setelah ikut pertunjukan ludruk, para pemuda antikomunis langsung menyeretnya.
“ Kasihan sebenarnya. Anaknya masih kecil. Setahu saya dia orang baik. Tidak pernah ikut kerusuhan atau apa yang katanya diperbuat PKI. Dia hanya ikut ludruk. Saya hanya bisa pesan hati-hati dan jangan melawan padanya. Setelah itu saya disuruh masuk dan tidak boleh membuka pintu oleh para pemuda yang menyeretnya,” tutur SP yang saat ini masih terlihat sehat meskipun sudah renta.
Beberapa hari kemudian, SP mendapat kabar jika si pemuda tersebut telah tewas. Mayatnya ditemukan tergantung di anjungan kapal daerah Pelabuhan Tanjung Tembaga Probolinggo. Sejak itu dia tahu jika siapa pun yang dicap PKI pasti habis.
Sayangnya, dia tidak ingat siapa saja pemuda yang turut menyeret dan akhirnya berujung pada kematian sang pemuda. Hingga ditulis, SP tidak pernah ingat lagi orang-orangnya. Pembantaian ini benar-benar berlangsung massif dan hampir tak ada narasi yang menuliskannya lagi. Ketika dicari di internet pun, tak ada yang menjabarkan tentang kejadian itu. “Tidak akan ada tulisannya. Karena semua itu sudah jadi sejarah hitam dan ingin dilupakan orang,” tuturnya. Alhasil suara lirih eksekutor pun gagal didapatkan. Hanya bisa mendengar sepak terjangnya lewat seorang saksi mata.
Tidak hanya daerah kota Probolinggo, di daerah kabupaten Probolinggo pun juga terjadi pembantaian. Majalah Tempo edisi 1-7 Oktober 2012 lalu menurunkan tulisan tentang pengakuan seorang algojo atau eksekutor dari Probolinggo. Dalam tulisan itu, namanya adalah haji SY
SY menceritakan ketika itu dia adalah seorang santri sebuah pondok pesantren terkenal di daerah Kediri. Ketika balik lagi ke daerah Paiton, Probolinggo, dia diminta pihak tentara untuk membantu menangkap para terduga PKI. Ternyata tak hanya menangkap, mereka juga ditugaskan membunuh.