Terkenang guru sejarah kelas II SMA dulu, Ibu Damayanti. Beliau mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang romantis. Bayangkan hanya berbekal bambu runcing, bangsa ini berani dan akhirnya berhasil mengusir penjajah. Secara logika gak akan mungkin bambu runcing menang berhadapan dengan senapan dan meriam.
Jelang 9 Juli ini, rasanya pendapat beliau semakin menemukan relevansinya. Agenda akbar bangsa ini untuk memilih calon pemimpinnya lima tahun ke depan rasanya kok semakin jauh dari ajang adu visi, gagasan, dan program. Teringat di awal proses panjang ini perdebatan lebih banyak menyentuh aspek "rasa" dan bukan "logika". Dan sedihnya bukan hanya rakyat jelata bahkan beliau-beliau yang bergelar Profesor Doktor ataupun tokoh-tokoh terkemuka juga terhanyut dalam gelombang itu. Sedih melihatnya...
Memang sejenak diskusi kemudian menyentuh aspek "isi" dan bukan "bungkus" dari masing-masing pihak, namun sayangnya proses itu hanya berlangsung sejenak dan kembali akhirnya pertandingan antara kedua pihak hanya menyentuh "rasa".
Apakah yang salah dengan bangsa ini, kenapa begitu susahnya untuk beradu visi, gagasan, ide. Hanyalah utopia kalo ada yang berharap bahwa dalam lima tahun persoalan sebuah bangsa akan terpecahkan. Makanya wajar saja sebenarnya kalau ada perbedaan pendapat karena masing-masing pasti punya standar dan prioritas yang berbeda, hal yang dijanjikan akan bisa diselesaikannya.
Ya bicara ide memang harus bicara janji... Terlintas saat Bung Karno dan para pendiri bangsa ini dulu berjuang, bukankah yang ditawarkannya juga janji kepada rakyat jelata. Janji bahwa suatu ketika bangsa kita akan merdeka lewat perjuangan yang akan mereka pimpin.
Tapi entahlah, kenapa bangsa ini tidak bisa mencontoh para pendiri negeri ini puluhan tahun lalu. Yang telah mengajarkan kepada kita bagaimana berdiskusi mengenai "isi" dan bukan sekedar "rasa". Para pendiri bangsa ini dengan tegas masing-masing menunjukkan jati dirinya. Ada yang memang beraliran sosialis, ada yang beraliran agamis (baik Islam, Kristen, Katolik) ataupun aliran-aliran lainnya. Mereka tidak malu-malu menunjukkan jati dirinya karena memang jati diri itulah yang akan mempengaruhi ide dan gagasan yang mereka usung.
Lalu kenapa sekarang kita begitu malu-malu untuk menunjukkan jati diri itu sehingga justru menjadikan ide dan gagasan yang diusung tidak jelas "jenis kelaminnya". Kenapa juga mesti semuanya serba seragam dan seolah harus bisa memenuhi harapan banyak orang.
Sungguh, saya memimpikan bahwa proses kenegaraan terbesar itu suatu saat bisa menjadi ajang pertempuran ide, gagasan bahkan ideologi. Apa salahnya jika masing-masing pihak menawarkan "Kami akan membawa bangsa ini keluar dari permasalahan terbesarnya dengan jalan.bla.bla.bla.. Kenapa begitu karena memang kami yakin hanya dengan ideologi inilah persoalan bangsa ini bisa selesai." Atau barangkali pihak lain ada yang menawarkan "Kami memang tidak religius, ibadah tidak penting bagi kami yang terpenting adalah bla.bla.bla..."
Kenapakah tidak begitu prosesnya dan biarkan rakyat memilih. Terlintas lagi masa Pemilu tahun 1955 ketika "jenis kelamin" gagasan dari masing-masing pihak nampaknya begitu jelas (yang saya baca dan ikuti dari beberapa buku dan tulisan). Bukankah itu lebih fair dan tidak membingungkan sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa "sekarang ini semuanya sama saja."
Yah sudahlah... mungkin memang sekarang lagi jamannya kita lebih asyik menikmati "bungkus" daripada "isi", berasyik masyuk dengan "rasa" dibanding "logika". Atau jangan-jangan memang benar bangsa ini adalah bangsa yang romantis. Tapi bukankah orang romantis juga masih memiliki akal???
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِندَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُون