Pemberitaan seputar pilpres memang sedang gencar-gencarnya sekarang ini. Isi beritanya pun bermacam-macam, dari deklarasi para pendukungnya, saling melempar isu negatif dan kampanye hitam, sampai visi misi dari masing-masing calon presiden. Sayangnya, ada satu persoalan yang menurut saya begitu penting namun belum (atau tidak akan dan tidak mau) dijabarkan oleh masing-masing calon presiden, yaitu daftar lengkap kabinet menteri masing-masing calon presiden.
Jika Anda bertanya, "kenapa daftar menteri penting?" Saya akan kembali bertanya, "apa yang membuat Anda berpikir menteri itu tidak penting?" Saya menganggap menteri merupakan pelaksana kebijakan yang menterjemahkan dan mengimplementasikan visi-misi presidennya menjadi bentuk yang lebih kongkrit dan spesifik. Selain itu, siapapun presidennya, entah itu Jokowi atau Prabowo, sehebat apapun kedua orang itu, satu orang saja (atau dua orang kalau menghitung wakil presidennya juga) tidak akan mungkin dapat membawa dampak yang signifikan terhadap kemakmuran sekitar 250 juta orang. Bagaimanapun juga mereka membutuhkan orang-orang untuk membantu mereka dan, menurut KBBI, menteri lah para pembantu presiden itu. Sebagian dari Anda mungkin akan berpendapat bahwa tidak hanya menteri saja yang harus berperan dan saya setuju dengan itu namun tetap saja pelaksana kebijakan tertinggi di bawah presiden dan wakilnya adalah para menteri itu tadi.
Dengan menyerahkan daftar menteri yang dapat dibaca oleh khalayak ramai - meski orang awam mungkin tidak akan terlalu ngefek - paling tidak, saya, atau mereka-mereka yang peduli, bisa mencari tahu lebih jauh tentang individu-individu yang akan dicalonkan jadi menteri tersebut tentang rekam jejak mereka, ideologi mereka, ataupun gaya berpikir mereka. Jangan sampai kabinet menteri yang akan datang isinya juga sama dengan kabinet menteri yang terlalu banyak drama dan kasus. 2 Menteri jadi tersangka KPK. Ada menteri yang mengijinkan produk-produk mobil impor murah tapi yang juga tak kunjung menurunkan ijin terhadap mobil listrik produk dalam negeri ataupun mobil buatan anak-anak sekolah berbakat dari negeri sendiri. Ada lagi menteri yang anaknya suka kebut-kebutan di jalan sampai menewaskan sejumlah orang tak berdosa. Yang tak kalah hebat, ada juga satu menteri yang tak tahu ada TK yang tak punya ijin tetap beroperasi sehingga sampai ada anak-anak tak bersalah jadi korban orang-orang mesum - menteri yang sama yang juga tak bisa menjawab pertanyaan dari anak SMA Â soal UN. Ada pula menteri yang seharusnya paham soal teknologi informasi bisa-bisanya salah pencet follow akun porno. Sebagian menteri lainnya bahkan tak pernah terdengar beritanya, entah itu positif ataupun negatif. Ada juga beberapa menteri yang tak genap masa jabatannya padahal sebenarnya 5 tahun itu terlalu singkat untuk membuat perubahan di satu negara. Satu-satunya menteri yang bisa terbilang baik rekam jejaknya hanyalah menteri BUMN, setidaknya dari sepengetahuan saya.
Berhubung selama 6 tahun terakhir saya berkecimpung di industri IT - tepatnya hardware PC, dan 5 tahun sebelumnya mengikuti perkembangan industri IT selama masa kuliah, saya pun akhirnya membandingkan persaingan calon presiden ini dengan persaingan di industri IT tadi. Persaingan di industri IT sebenarnya juga tak kalah tajam, atau bahkan sebenarnya lebih frontal, ketimbang persaingan bursa capres. Intel vs AMD di pasar prosesor, Nvidia vs AMD di pasar kartu grafis, Samsung vs Apple di pasar ponsel pintar, misalnya, sudah terjadi bertahun-tahun silam dan bahkan beberapa kali sampai dibawa ke ranah hukum. Meski demikian, bagi saya, persaingan di industri IT jauh lebih jujur dan riil ketimbang persaingan calon presiden. Masing-masing produsen berani menjabarkan fitur-fitur apa saja yang ditawarkan oleh tiap-tiap produk sampai ke detil terkecilnya.
Sedangkan kalau pilpres, saya jadi membayangkan seperti sedang ingin membeli ponsel (yang lebih umum saja contohnya, jangan kartu grafis atau prosesor biar saya tidak usah menjelaskan macam-macam detil teknis) tapi tapi saya tidak boleh tahu secara lengkap fitur-fiturnya apa saja. "Beli dulu aja mas, nanti kan juga tahu fitur-fiturnya apa saja." Bukankah itu sama saja dengan membeli kucing dalam karung? Kalau cuma soal visi dan misi ataupun gagasan dan ideologi, bukankah Apple dan Samsung juga akan mengobral janji yang sama, yaitu berjuang demi kepuasan para penggunanya?
Bayangkan saja, misalnya Anda bertanya, "itu kameranya berapa MP pak? Lensanya pakai apa? Ada flashnya atau tidak?" Tidak ada jawaban dari kedua pihak. Kemudian saat ditanya lagi, "itu ponselnya pakai prosesor apa? Storage internalnya berapa GB? Baterainya berapa MAh?" Salah satu pihak berkata, "kita masih belum pada proses penjabaran fitur... Fitur itu baru akan dikasih tahu setelah Anda beli produk ini" Sedangkan yang satu lagi justru menawarkan satu fitur yang jelas-jelas tidak saya butuhkan atau inginkan, karena akan membawa lumpur kemana-mana - bahkan lumpurnya itu akan dijadikan fitur utama pula.
Coba posisikan Anda sebagai calon pembeli ponsel tadi, kira-kira Anda mau membelinya atau tidak?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI