Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Sumatera Utara 15 tahun yang lalu, saya merasa takjub (heran????) dengan begitu banyaknya barang dan orang Malysia di Medan. Waktu itu saya Cuma berpikir, oh wajarlah karena kan masih sama-sama serumpun, orang Medan yang termasuk dalam rumpunMelayu Deli tentu merasa bersaudara denganorang Malysia yang sama-sama masih Melayu juga. Ketika itu makanan juga banyak yang dari Malaysia, bahkan di jual sampai ke pelosok Sumatera Utara (saya tidak tahu apakah juga merambah ke kawasan Sumatera lainnya). Makanannya juga laku sekali. Orang suka membeli makanan dari Malaysia karena rasanya memang lebih enak. Selain makanan , sampah dari Malaysia juga banyak di temui di Medan. Jalan Monginsidi adalah surganya barang-barang bekas dari Malaysia. 5 tahun yang lalu aturan pemerintah dibuat untuk memperketat segala barang yang masuk dari Malaysia, sehingga makanan dan sampah dari Malaysia susah didapatkan di pasaran.
Barang dan sampah berkurang, tapi tidak dengan orang Malaysia. Bila andaberkunjung ke Medan, berkunjunglah ke pusat-pusat perbelanjaan disana. Dari yang kelas biasa sampai yang mewah. Banyak kita temui pelancong dari Malaysia. Begitu juga bila anda ingin menghabiskan malam-malam di tempat hiburan , maka akan banyak juga ditemui pelancong dari Malaysia.
Hal yang membuat mereka suka melancong ke Indonesia adalah karena di Indonesia segalanya murah, baik barangnya maupun orangnya. Lho…lho..lho…. Nanti dulu, saya jadi penasaran. Kok orang ? memangnya mereka mau beli manusia? Mereka cuma cengar-cengir dan berkata “ anda tahukan yang saya maksud?” Duh, nelangsanya.
Pernyataan para pelancong-pelancong Malaysia di Medan membuat saya jadi lebih memperhatikan beberapa orang yang saya ketahui menikah dengan orang Malaysia. Tadinya saya cuek bebek dengan kehidupan mereka. Saya pikir, toh itu kehidupan pribadi mereka dan kadang jodoh datangnya tidak terduga. Rasa penasaranmembuat saya jadi ”usil”. Saya yang tadinya tidak mau tahu, jadi ingin tahu kehidupan para wanita yang menikah dengan orang Malaysia. Ola..la… beberapa diantara mereka ternyata adalah istri kedua. Istri pertama di Malysia setuju-setuju saja dan memberikan izin suaminya menikah dengan orang Indonesia. Kalau dalam hatinya, saya tidak tahu.Para wanita ini juga merasa tidak risih atau jengah, bahkan mereka membuatgeng yang anggotanya adalah para wanita yang menikah dengan pria Malaysia. Saya kadang-kadang iseng ikut acara mereka.
Dari beberapa obrolan dan kehidupan sehari-hari yang saya lihat, mereka tidak merasa menyesal atau merasa rendah diri dengan statusnya. Mereka beranggapan bahwa lebih baik menikah, daripada melakukan perbuatan yang dilarang agama kan?. Saya mengangguk-angguk, bukannya karena setuju, tapi karena saya pikir itu adalah pilihan hidup. Saya tidak berhak mencampurinya.
Para suami Malaysianya datang sebulan sekali. Dan pada umumnya mereka adalah perempuan-perempuan mandiri yang tangguh. Mereka mengasuh anaknya tanpa suami dengan baik, berbisnis dan membuka usaha dengan teman-temannya. Kadang saya bersuudzon apakah mereka bahagia dengan kehidupannya? Ataukah kebahagiaan yang saya lihat hanya semu? Entahlah, hanya mereka yang tahu.
Yang jelas. Para suami Malysia ini bertanggung jawab betul pada para istri indonesianya. Mereka mengatakan karena para perempuan Indonesia is the best wife. Saya tidak berani Tanya apa alasan mereka menilai seperti ini. Menurut saya penilaian ini sangat subyektif. Jadi buat apa saya meragukan jawaban mereka?.Apakah sang suami cinta Indonesia? Mereka menjawab ,”I cinta Indonesialah, kerana Indonesia is my second home and my second wife”. Entahlah saya harus gembira , sedih atau marah dengan istilah dan jawaban yang mereka katakan……
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H