Beberapa hari ini, berita tentang Ramaditya Adikara, seorangtuna netra yangpernah mengklaim diri sebagai pencipta beberapa music game Jepang sedang hangat. Hangatnya berita bukan karena dia telahberhasil menciptakan kembali sebuah musik game baru, tetapi karena dia mengakui telah melakukan kebohongan public dengan pernyataannya menciptakan music game. Walaupun pengakuannya dilakukan sesudah ada desakan dari beberapa pihak yang menyodorkan bukti bahwa dia bukan pencipta music-musik game tersebut, setidaknya Ramaberanidan mau berbesar jiwa mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada public.
Saya bukanlah orang yangmengidolakan orang secara membabi buta sehingga ketika saya membaca berita tentangkehebatan Rama, saya hanya bergumam :” He is great and special. Tuhan selalau memberikan kelebihan dibalik kekurangan manusia”.Sekarang. Ketika saya membaca tentang pengakuan Rama, saya harus banyak membaca berita tentang Rama kembali karena sosoknya hanya menempel diingatan saya sebagai seorang tunanetra yang diberi kelebihan dibalik kekurangannya.
Membaca berita tentang Rama dari berbagai sumber, saya lalu menyimpulkan bahwa sebenarnya kebohongan public yang dilakukannnya karena dia ingin orang melihat dan mengakui eksistensi dia. Ketika dia berbohong pertama kali, orang percaya dan itu memicu kebohongan-kebohongan berikutnya. Kompas yang notabene merupakan Koran yang berpengaruh dan terpercaya menulisnyasebagai seorang yang insipratif. Andy menampilkannya dalam acara Kick Andy di televisi yang ditonton oleh jutaan pemirsa Indonesia, namanyapun makin terkenal. Rama makin terlena dengan keterkenalan itu. Apalagi biasanya popularitas berbanding lurus dengan uang yang datang. Nah ketika orang-orang di kotakgame berhasil menyodorkan bukti bahwa dia berbohong, Rama harus mengakhiri kebohongannya, dan menanggung resiko akibat kebohongannnya. Permintaan maafnya, menimbulkan reaksi yang bermacam-macam dari masyarakat, ada yang mengecam, netral, dan memaafkan.
Sekarang kenapa saya menghubungkan masalah Rama dengan kasus A dan LM?. Bukannya masalahnya berbeda?. Saya bukan melihat dari masalahnya, tapi melihat bagaimana sebenarnya masyarakat selalu membuka maaf untuk orang-orang yang dengan berbesar jiwa mau mengakui kesalahnnya secara terbuka. Bukan karena dengan demikian kita bisa mengatakan, “ tuh apa saya benarkan?”, tapi karena pada dasarnya, manusia diberi sisipemaaf oleh Tuhan.
Nah Rama saja yang secara fisik berani mengakui kesalahanya dan meminta maaf, kenapa A dan LM yang secara fisik normal dan memiliki berbagai kelebihan tidak meminta maaf secara terbuka?. Konsekwensi yang di tanggung oleh Rama bersisi terbalik dengan konsekwensi yang yang diterima oleh A dan LM. Dengan mengakui kebohongannya berimbas pada pendapatan yang diperolehnya (bukunya ditarik dari peredaran) dan sulit bagi orang untuk mempercayainya lagi, sedangkan bagi A dan LM kejujurannya justru membuat orang berpikir, okelah kamu berbuat salah, tapi lain kali jangan kamu lakukan lagi. Bagaimanapun kalian adalah orang yang sangat berbakat dan saya menyukai karya-karya anda. Kenapademikian? Karena sebelum tersandung kasus, keduanya memperoleh popularitas karena bakatnya, bukan karena pernyataannya. Bagaimana A dan LM? Ataukah anda berdua terlalu lama hidup dalam dunia pencitraan dan kepura-puraan sehingga tidak bisa lagi membedakan mana kehidupan yang real dan mana yang dikemas untuk membungkus pribadi anda agar terlihat blink dan menjual?.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI