Di belakang layar banyak anak media, pakar komunikasi dan pengamat politik pada cengar-cengir melihat tingkah Presiden termasuk saya. Terlebih saat komentator bule harus menerjemahkan pidato Presiden dalam siaran langsung Penutupan Asian Games 2018.
Banyak yang beranggapan bahwa bahwa Presiden hanya mencari perhatian di tengah perhelatan dunia yang sedang berlangsung. Sementara dalam video yang beredar ternyata memperlihatkan Presiden sedang asyik bergoyang seperti 'goyangan dayungnya' di perhelatan pembuka Asian Games 2018 (18/8/18).
Teringat jelas curhan hati Sang Guru, bahwa bukan itu yang mereka butuhkan. Bukan kedatangan Sang Presiden yang mereka inginkan tapi dukungan moril maupun non-moril bagi para korban bencana. Bukan 'goyangan maut' atau apalah yang ingin mereka saksikan tapi cukup agar anak-anak mereka 'bisa makan es krim'. Agar orang tua atau lansia tidak semakin penyakitan dan agar bayi-bayi pengungsi tidak tergganggu kesehatannya.
Kali ini bukan pidato atau bahasa skenario kreatif yang ingin mereka dengar tapi berita bahwa peristiwa gempa di Lombok berstatus bencana nasional. Bukan sandiwara atau aksi heroik bak pahlawan bermotor yang ingin mereka lihat tapi senyuman anak-istri dan keluarga mereka.
Kesimpulan
Setidaknya Jokowi berhasil menjadikan media sebagai 'pacar'. Kalau dulu di era Suharto media adalah musuh yang selalu membuat gaduh Istana, tapi di era ini Jokowi berhasil menjadikannya sebagai teman bahkan senjata dan amunisi terbaik. Akhirnya tidak perlu takut sama kaos atau tagar lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H