Mohon tunggu...
MOCH DZIKRI ABD MUIZ
MOCH DZIKRI ABD MUIZ Mohon Tunggu... Guru - Inovatif, inspiratif, edukatif dan jiwa seni

manusia adalah buku hidup, dan pasti akan di baca bahkan dibicarakan oleh pembaca yakni orang lain. kualitas dirimu kemungkinan besar ada pada penilaian orang lain. Tentunya berusaha agar mejadi pribadi yang berkualitas dengan hasil yang berkualitas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keyakinan Itu Ketenangan

31 Mei 2021   11:30 Diperbarui: 31 Mei 2021   12:01 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Secara prinsip, terlahirnya kita dbumi adalah sebuah anugerah. Penyadaran akan anugerah Allah ini, semestinya harus tertanamkan sejak awal. Anugerah yang membuat kita sebagai makhluk "berprestasi", bahkan sebelum menghirup tanah berair Bernama bumi ini. Mengapa? Pertama, sewaktu berada di alam Rahim, kita berhasil memenangkan persaingan dengan saudara sendiri yang berjumlah jutaan bahkan lebih. Dan kita finis pertama, sehingga layak untuk "dibuahi" selama Sembilan bulan, untuk kemudian "dihadiahi" hari special: Terlahir disambut adzan!

Dan itu adalah anugerah Allah yang sangat luar biasa, yang dinamakan nikmatul iijad-nikmat karena diberikan kesempatan hidup. Untuk menancapkan eksistensi keberadaan kita di bumi. Sudahkah kita mensyukurinya? Setelah terlahir, Allah menambahkan bonus berupa hembusan nafas, yang tak terhitung, karena terhirup tiap sepersekian detiknya. Kemudian kita tumbuh. Melihat, mendengar dan merasakan kehadiran semesta. Apakah kita menyadari bahwa hanya Allah-lah yang membuat kita sekuat ini? Bahwa Allah-lah yang menjaga keberadaan kita?.

Lupakan sejenak pertanyaan diatas. Liriklah permasalahan yang muncul saat kita lalai menyadari dan memahami kebesaran Allah. Benar adanya, "Kadang takdir yang kita terima hanya sebatas apa yang kita fikirkan, tapi belum menyentuh perasaan terdalam kita.

Ketika kita mengatakan "Allahu Akbar", kita pasti dengan yakin mengatakan bahwa memang Allah itu Maha Besar. Akan tetapi, dalam kenyataannya, kita justru mengkerdilkan Allah. Diantaranya, Ketika merasa berat menghadapi beban hidup. Padahal, sejatinya taka da yang perlu dirasa sullit, Karena Allah Maha akan segalanya. Sehingga, penanaman tauhid itu perlu terus dipupuk dalam diri kita, agar tenang, kuat, sabar, dan tawakkal, dalam menghadapi kehidupan.

Sadarkah, jika kita hanya mengingat Allah hanya beberapa menit saja. Tapi Allah mengingat kita tanpa jeda. Tanpa Henti. Tanpa kita sadari . Jika sedetik saja, Allah melupakan kita, sudah pasti kita mati dan musnah, karena hakikatnya semua yang ada di dalam tubuh di jagat raya ini, berjalan dan hidup untuk terus merotasi karena kekuasaan Allah.

Pernahkan kita lunglai dan tak karuan saat membayangkan seperti ap akita di masa depan? Menghadapi seabreg tugas kuliah, menghitung dan menembak-nembak Langkah selanjutnya setelah diwisuda, atau menyemai mimpi saat akan menghadapi pernikahan, berkeluarga, memiliki anak, dan  kemudian menjadi tua! Selesai?

Hidup hanya putaran jam yang tidak bisa dihentikan. Ia merotasi memperpendek jarak kita dengan kematian. Pernahkah kita bayangkan ini? Benarkah kita hanya lebih sibuk berjibaku untuk mencari kebahagiaan yang sementara? Yang tak bis akita temukan, karena tak pernah mencoba bersyukur?

Taka da kebahagiaan yanga abadi. Kebahagiaan hanya terlahir karena kita menyadari segala apa yang diberikan Allah, untuk kita syukuri. Untuk digunakan dalam Langkah penuh syukur, dengan tak henti meningkatkan Langkah hebat kita, ,menuju apa yang diinginkan-Nya.

Kehidupan ini kadang selalu sulit, karena kita terbiasa memposisikan diri kita dari melupakan kebesaran Allah. Yakinlah, semua karena Allah. Oleh Allah. Karena Ke-Maha Besar-an Allah. Oleh karenanya, menyerahlah dan serahkan segalanya hanya untuk Allah. Biarlah Ia mempermanis rasa pahit kita. Yang akan mempermudah rasa sulit kita. Karena tak ada yang tak mungkin bagi-Nya.

Yakinlah Allah selalalu ada, pada saat-saat kita tak pernah ada untuk-Nya sekalipun. Sudahlah, terakhir, masih ingatkah, berapa banyak air mata yang jatuh, saat dijatuhkan hidup? Tapi, pernahkah kita menangis saat kehilangan Allah di Shalat kita? Wallahu a'lamu.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun