Halo Kompasianer, masih sehat dengan marketplace yang semakin sakit?
Kadang saya suka tertawa sendiri sampai terbahak-bahak ketika melihat persaingan harga yang begitu ketat di marketplace.Â
Bisnis yang harusnya bermodelkan B2B (Business to Business) sekarang sudah menjamur menjadi model B2C (Business to Customer) jadi pemasok menjual produknya langsung ke pelanggan tanpa perantara seperti pasar yang sudah ada sejak lama.
Sistem distribusi seperti ini memang efisien dan sangat menguntungkan dengan catatan, menurunkan mental penjual kelas teri untuk bersaing, dan jika ada teri yang berani menghadapi kakap seperti ini ujungnya hanya akan saling berperang harga.
Regulasi soal harga jual sebenarnya sangat dibutuhkan dalam kasus ini. Jika tidak, peperangan tidak akan menemui titik akhir.
Imbasnya apa? Kualitas! Yup, kualitas produk yang diterima konsumen saya jamin akan semakin menurun karena vendor akan terus mengutamakan kuantitas dalam produksi dan omzet dalam penjualan.
Tapi sebenarnya kondisi seperti ini akan membentuk UMKM yang semakin mandiri dan kreatif. Mau tidak mau semua pelaku usaha harus memiliki keunikannya masing-masing sehingga tetap bisa memacu roda penjualan yang optimal tanpa harus pusing-pusing bergesekan dengan yang lainnya.
Tentu saja, untuk kreatif itu gampang sekali dilakukan oleh siapa saja, tetapi untuk mandiri sangat membutuhkan modal yang tidak sedikit, karena pelaku usaha harus memproduksi sendiri, punya mesin sendiri, dan punya peralatan sendiri.
Jaman sekarang memang tidak seindah jaman yang sudah berlalu. Cukup stok produk dari supplier, lalu dijual kembali. Tapi sekarang, menyetok produk supplier eh malah bersaing kembali dengan suppliernya. Parahnya lagi, harga jual supplier begitu kompetitif.
Apa solusinya?
Menurut saya, supplier akan tetap bisa mendapatkan omzet tinggi tanpa harus menjual produknya langsung ke konsumen di pasar yang sama. Karena fungsi distributor atau seller di bawahnya akan membeli produknya, bukan?