Sudah memasuki bulan ke-6 semenjak perhitungan suara akhir, masihkah kalian memantau informasi mengenai Pemilihan Umum 2024? Pasalnya, Pemilihan Umum 2024 menjadi topik yang masih ramai dibahas saat ini karena dianggap sebagai salah satu momen penting bagi masyarakat Indonesia dalam menentukan siapa yang pantas untuk menerapkan program-program kerjanya dalam memajukan Indonesia.Â
Terdapat kalimat yang menyatakan bahwa Pemilihan Umum akan selalu menjadi bagian penting dalam sejarah politik Indonesia, setuju? Seperti yang kita tahu, Indonesia memiliki tiga kandidat presiden dan wakil presiden untuk dipilih pada Pemilu 2024 ini, yaitu Anies-Imin sebagai kandidat pertama, dilanjut dengan Prabowo-Gibran sebagai kandidat kedua, dan diakhiri dengan Ganjar-Mahfud yang menjadi kandidat ketiga.Â
Memilih presiden adalah tanggung jawab besar yang memerlukan pertimbangan dan kecermatan masyarakat dalam melihat kriteria calon presiden dari berbagai aspek, mulai dari visi dan misi, rekam jejak, hingga integritas dan kemampuan manajerial. Namun, bagaimana jadinya apabila masyarakat mengevaluasi calon presiden dari banyaknya disinformasi yang beredar? Akankah mereka salah dalam memilih?
Konon katanya, media menjadi elemen penting bagi penunjang kelancaran Pemilihan Umum 2024. Potensi penyebaran berita hoaks atau berita palsu menjelang Pemilihan Umum 2024 mencapai kenaikkan grafik yang sangat tinggi. Seperti yang dikatakan oleh Marolli Jeni Indiarto selaku Plt Direktur Informasi dan Komunikasi Polhukam Kemenkominfo RI pada Talkshow HUT Tribun Jatim ke-7 (27/2/2024), beliau menyampaikan bahwa dalam periode Januari 2023 - Januari 2024 terdapat 289 berita palsu mengenai Pemilihan Umum 2024. Selain itu, berdasarkan data yang dicatat oleh Kominfo RI, sebanyak 62% masyarakat Indonesia keliru akan berita palsu yang beredar tersebut.
Selain itu, terdapat juga kuantitas pengumpulan data yang dilakukan oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Mengutip dari gagasan Septiaji Eko Nugroho, disebutkan bahwa penyebaran berita palsu terus meningkat selama periode 2018-2024. Pada periode Januari-Februari 2024, terdapat total 696 berita palsu dan 440 di antaranya merupakan berita palsu mengenai politik. Pada tahun 2024, Sarana penyebaran berita hoaks di media sosial cenderung merata, yakni melalui Youtube (23 persen), Tiktok (21 persen), Facebook (21 persen), Twitter (16 persen), dan Whatsapp (11 persen). Sisanya, lewat Instagram (5 persen) dan lainnya (2 persen).Â
Penyebaran berita palsu erat kaitannya dengan isu politik. Tak heran apabila persentase berita palsu meningkat saat memasuki tahun politik, seperti Pemilu. Bagi beberapa masyarakat, hadirnya berita palsu dianggap hanya akan menimbulkan berbagai nilai negatif yang merusak integritas negara. Namun, bagi sebagian pendukung fanatik, berita palsu dimanfaatkan sebagai strategi dalam menjatuhkan citra dan kualitas lawan. Hadirnya berita palsu berkonotasi negatif terhadap kandidat tertentu akan mempengaruhi perpindahan aliansi suatu individu atau kelompok menuju kandidat lainnya. Maka dari itu, tak heran apabila penyebaran berita palsu seringkali dijadikan sebagai salah satu strategi dalam mencapai kemenangan.
Hal tersebut berkaitan dengan temuan survei Katadata Insight Center (KIC) yang menyatakan bahwa setidaknya 30% sampai hampir 60% orang Indonesia terpapar berita palsu saat mengakses dan berkomunikasi melalui dunia maya. Sementara hanya 21% sampai 36% saja yang mampu mengenali disinformasi. Banyaknya persentase masyarakat Indonesia yang termakan berita palsu ini menunjukkan bahwa Indonesia belum menjadi sebuah negara yang memiliki nilai integritas seutuhnya.Â
Sebuah studi psikologis menyimpulkan bahwa mayoritas orang akan bertindak sesuai apa yang diinginkan oleh berita yang membuat mereka tergugah. Hal tersebut berkaitan dengan bagaimana cara masyarakat Indonesia dalam menyikapi sebuah berita palsu. Terkadang, pembaca hanya mempercayai sebuah berita melalui judul saja tanpa adanya keinginan untuk membaca teks secara keseluruhan. Selain itu, adanya rasa enggan untuk mempercayai sumber yang dianggap berbeda golongan atau tidak sependapat berpotensi menjadi faktor mengapa berita palsu mudah merajalela di kalangan masyarakat Indonesia.
Apabila masyarakat Indonesia masih belum memiliki kemampuan dalam mengesampingkan disinformasi menjelang Pemilihan Umum 2024, maka akan mendatangkan malapetaka bagi negara. Hal tersebut dikarenakan berita palsu memiliki dampak yang signifikan terhadap Pemilihan Umum 2024. Secara tidak langsung, berita palsu dapat menggiring opini publik ke ranah yang salah, membuat masyarakat terpengaruh dengan informasi yang tidak akurat sehingga memungkinkan mereka untuk mengubah suaranya terhadap kandidat yang mungkin tidak mereka kenali dengan baik. Informasi palsu yang menyasar kandidat tertentu dapat merusak reputasi mereka, mengurangi peluang mereka untuk terpilih meskipun tuduhan tersebut tidak berdasar.
Selain itu, beredarnya berita palsu jelang Pemilihan Umum 2024 dapat menjadi faktor utama terjadinya konflik antar pendukung. Seringkali berita palsu dirancang untuk mempengaruhi dan memprovokasi emosi suatu individu atau kelompok yang dapat meningkatkan ketegangan di antara kelompok-kelompok masyarakat. Mengulas kembali situasi yang terjadi selama Pemilihan Umum 2024, para pendukung dari ketiga kandidat tidak henti-hentinya melemparkan olokan terhadap kandidat tertentu dengan menyelipkan isu-isu miring yang tidak diketahui pasti kebenarannya.Â
Sebagai warga negara, sudah sepatutnya memiliki keteguhan bahwa tanggung jawab negara bukan hanya ranah pemimpin dan politikus negara saja, tetapi masyarakat pun memegang peran penting dalam menentukan pilihan ke mana negara ini akan melangkah. Guna memajukan integritas negara, tentunya pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama dalam menciptakan pondasi untuk meminimalkan dampak berita palsu terhadap kualitas negara.Â
Mengatasi disinformasi pada Pemilu 2024 memerlukan pendekatan yang terkoordinasi dan konkret. Pada era digitalisasi ini, pemerintah dapat bekerja sama dengan organisasi pemeriksa fakta untuk mengidentifikasi dan mengoreksi informasi palsu. Selain itu, perlu diadakannya pembuatan portal informasi resmi yang bisa diakses oleh publik untuk mendapatkan informasi yang diverifikasi. Pada sisi lain, masyarakat harus diimbau untuk aktif melaporkan berita palsu yang mereka temukan kepada pihak berwenang atau platform media sosial. Apabila masyarakat kesulitan dalam mendeteksi kebenaran berita, mereka dapat memanfaatkan teknologi alat deteksi hoaks untuk menghindari adanya ketidaksesuaian dalam informasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H