Mohon tunggu...
Zidni Ilman Nafi
Zidni Ilman Nafi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang

Mahasiswa Universitas Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menerapkan Etika Politik Dalam Pendidikan Islam Untuk Membentuk Pemimpin Berintegritas

5 Desember 2024   04:57 Diperbarui: 5 Desember 2024   08:22 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/2016/10/17/102792/islam-dan-kepemimpinan-non-muslim.html

Politik sering kali dipahami sebagai perjuangan untuk kekuasaan, sebuah konsep yang dijelaskan oleh Andrew Heywood dalam karyanya "Power, Authority and Legitimacy". Menurut Heywood, politik adalah tentang siapa yang memperoleh kekuasaan, kapan kekuasaan itu diperoleh, dan bagaimana cara kekuasaan itu diperoleh. Konsep yang serupa juga diungkapkan oleh Harold Lasswell dalam bukunya "Politics: Who Gets What, When, How" (1936), yang lebih menekankan pada siapa yang mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana dalam sistem politik. Kedua pandangan ini menggambarkan politik sebagai arena untuk memperoleh dan mengelola kekuasaan, yang berhubungan erat dengan dinamika sosial dan kepentingan kelompok.

Namun, dalam praktik politik kontemporer, muncul berbagai fenomena yang sering kali memperburuk proses politik, salah satunya adalah yang dapat disebut sebagai "gerakan sakit hati." Gerakan ini muncul dari pihak-pihak yang merasa kecewa atau dirugikan dalam perpolitikan, seperti kelompok yang tidak puas dengan hasil pemilu atau yang merasa kehilangan posisi atau akses kekuasaan. Hal ini dapat berwujud dalam berbagai bentuk, termasuk dukungan terhadap gerakan separatisme atau penyebaran hoaks yang tujuannya adalah untuk menggoyang kestabilan politik. Penyebaran hoaks politik, terutama yang mengandung unsur SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan), menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, politik menjadi sarana untuk mencapai tujuan dengan cara yang tidak etis. Fakta bahwa hoaks politik semakin meningkat dari tahun ke tahun di Indonesia menandakan bahwa sebagian pihak mulai menganggap bahwa politik adalah sarana yang sah untuk mencapai kekuasaan, meskipun dengan cara yang merugikan kepentingan umum dan menyesatkan publik.

Sebagai respons terhadap tantangan ini, banyak pihak mulai menyerukan pentingnya etika politik, terutama dalam menjaga integritas dan moralitas dalam berpolitik. Etika politik berusaha menegaskan bahwa politik tidak hanya tentang mencapai kekuasaan semata, tetapi juga tentang bagaimana kekuasaan itu digunakan untuk kepentingan umum, bukan hanya kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Etika politik mengandung tiga pokok tuntutan utama: (1) usaha untuk hidup bersama secara baik dan berorientasi pada kesejahteraan orang lain, (2) upaya untuk memperluas ruang kebebasan bagi setiap individu, dan (3) membangun institusi yang adil dan berpihak pada kebenaran.

Dalam perspektif Islam, etika politik sangat ditekankan sebagai bagian dari upaya menegakkan keadilan dan kebenaran. Islam mengajarkan bahwa politik harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip yang diajarkan dalam Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad SAW. Al-Qur'an, dalam surat An-Nisa ayat 58 dan 59, memberikan pedoman yang jelas mengenai prinsip-prinsip etika politik. Prinsip amanat, yang tercermin dalam ayat 58, mengajarkan bahwa setiap individu, terutama pemimpin, harus memikul amanah yang diberikan dengan penuh tanggung jawab. Amanah ini mencakup tanggung jawab kepada Tuhan, kepada sesama manusia, dan kepada diri sendiri. Selain itu, prinsip keadilan juga sangat ditekankan dalam Islam, yang mengharuskan setiap tindakan politik dilandasi oleh sikap adil, yang tidak memihak kepada satu pihak atau kelompok saja. Musyawarah sebagai metode pengambilan keputusan juga diajarkan dalam Islam sebagai sarana untuk menyelesaikan perselisihan dengan mengacu pada hukum Allah dan sunnah Rasulullah.

Selain prinsip amanat dan keadilan, dalam etika politik Islam juga terdapat prinsip ketaatan kepada pemimpin yang sah (Ulil Amri). Islam mengajarkan bahwa umat harus taat kepada pemimpin selama pemimpin itu tidak menyimpang dari ajaran agama dan prinsip-prinsip kebenaran. Hal ini tercermin dalam surat An-Nisa ayat 59 yang menyatakan bahwa umat Islam harus taat kepada Allah, Rasul, dan Ulil Amri, selama mereka memimpin sesuai dengan ajaran Islam dan tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan syariat.

Etika berpolitik dalam Islam juga mengatur hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin. Salah satu prinsip utama adalah bahwa jabatan adalah amanah yang harus diterima oleh orang yang benar-benar mampu dan memiliki kompetensi, bukan berdasarkan ambisi pribadi. Sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadis, seorang pemimpin tidak boleh meminta jabatan karena jabatan itu adalah tanggung jawab yang sangat berat. Jabatan harus diberikan kepada orang yang mampu dan layak. Hal ini menghindari praktik nepotisme atau pemberian jabatan yang tidak sesuai dengan keahlian.

Pemimpin juga diwajibkan untuk bersikap adil dan tidak sewenang-wenang dalam memimpin. Pemimpin yang berlaku adil akan mendapat balasan yang baik di sisi Allah, sedangkan pemimpin yang berlaku zalim atau tidak adil akan mendapat hukuman yang setimpal. Prinsip ini menunjukkan bahwa pemimpin harus selalu menjaga keadilan, tidak hanya terhadap diri sendiri, tetapi juga terhadap rakyat yang dipimpinnya.

Di sisi lain, rakyat atau umat yang dipimpin juga memiliki kewajiban untuk taat kepada pemimpin, selama pemimpin tersebut memimpin dengan benar dan sesuai dengan ajaran agama. Ketaatan ini menunjukkan rasa hormat terhadap peran pemimpin yang sah dan amanah dalam menjalankan tugasnya. Namun, jika pemimpin melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum Allah, rakyat berhak untuk menegur dan memberikan nasihat kepada pemimpin tersebut, tetapi tetap dalam bingkai menjaga kesatuan umat.

Dalam hal ini, oposisi dalam politik berfungsi untuk memberikan keseimbangan dan memastikan bahwa kekuasaan tidak disalahgunakan. Oposisi harus mengkritik kebijakan yang buruk dan meluruskan pemimpin yang salah arah, namun tetap dalam batas-batas hukum dan tidak melakukan tindakan yang merusak persatuan dan kedamaian. Meskipun kritik diperbolehkan, setiap perlawanan terhadap pemimpin harus tetap dilakukan dengan cara yang santun dan tidak merusak stabilitas negara.

Dengan demikian, etika politik dalam Islam tidak hanya melibatkan hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin, tetapi juga menekankan pentingnya keadilan, amanat, dan ketaatan. Prinsip-prinsip ini harus dijadikan dasar dalam setiap praktik politik, baik dalam sistem pemerintahan yang sudah ada maupun dalam kehidupan sosial secara umum. Dalam konteks pendidikan Islam, penting untuk menanamkan nilai-nilai ini kepada generasi muda agar mereka dapat menjadi pemimpin yang adil, bijaksana, dan bertanggung jawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun