sekolah Kristen untuk mendidik rakyat jajahannya.Sebagai contoh, di Ambon, terdapat 16 sekolah, dan di sekitar pulau-pulau Ambon ada 18 sekolah. Di Batavia, sekitar 20 sekolah didirikan, melengkapi 30 sekolah yang sudah ada sebelumnya. Sekolah-sekolah ini kemudian dibuka untuk masyarakat umum dengan biaya terjangkau, yang juga berfungsi untuk memperluas pengaruh Belanda di Nusantara. Sekolah-sekolah Belanda yang dikelola secara modern, baik dari segi kelembagaan, kurikulum, metodologi, maupun fasilitas, menarik minat masyarakat umum.
Kondisi pendidikan pada masa penjajahan Belanda awalnya bertujuan untuk berdagang. Namun, setelah menyadari kekayaan alam yang melimpah, Belanda mulai mengubah tujuannya menjadi upaya untuk menguasai wilayah Nusantara. Belanda membawa semboyan 3G: Glory (kemenangan dan kekuasaan), Gold (kekayaan alam Nusantara), dan Gospel (penyebaran agama Kristen). Dalam menjalankan misinya, Belanda mendirikan banyakKehadiran sekolah-sekolah Belanda menantang umat Islam, karena mereka lebih maju dan diminati oleh masyarakat. Menanggapi tantangan ini, intelektual Muslim mencetuskan ide-ide untuk memajukan pendidikan Islam, dengan mendirikan lembaga pendidikan seperti madrasah atau sekolah Islam. Upaya ini bertujuan untuk mempertahankan dan memperkuat pendidikan Islam di tengah persaingan dengan sekolah-sekolah Belanda.
Sistem Pendidikan Islam pada Masa Kolonialisme Belanda
Pendidikan Islam di masa penjajahan Belanda dikenal dengan sebutan pendidikan bumiputera, karena pesertanya mayoritas berasal dari kalangan pribumi. Pendidikan Islam pada masa itu terbagi menjadi tiga sistem. Sistem pertama adalah sistem peralihan Hindu-Islam, yang memadukan unsur pendidikan Hindu dengan Islam. Dalam sistem ini terdapat dua metode, yaitu sistem keraton dan sistem pertapa. Pada sistem keraton, guru mendatangi murid yang umumnya berasal dari kalangan bangsawan dan keraton. Sebaliknya, pada sistem pertapa, murid mendatangi guru di tempat pertapaannya, dan sistem ini terbuka untuk semua kalangan masyarakat.
Sistem kedua adalah pendidikan surau yang berkembang di wilayah Minangkabau. Surau pada awalnya merupakan tempat penyembahan nenek moyang, namun kemudian menjadi pusat pendidikan Islam yang memiliki peran penting, terutama dengan adanya Syekh Burhanuddin. Di surau, murid-murid tinggal bersama, mempermudah proses pembelajaran. Pendidikan di surau tidak mengenal jenjang formal, melainkan berdasarkan tingkatan keilmuan murid. Metode pembelajaran di surau adalah ceramah, membaca, dan menghafal dengan menggunakan kitab kuning sebagai bahan utama.
Sistem ketiga adalah pendidikan pesantren, lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pesantren dipercaya berasal dari tradisi Islam seperti zawiyat di Timur Tengah, atau merupakan hasil Islamisasi dari tradisi Hindu-Buddha. Di pesantren, pembelajaran dilakukan dengan metode sorogan (belajar individu dengan mengajukan kitab kepada kiai), wetonan (pengajaran kelompok dengan kiai menjelaskan kitab), dan musyawarah (diskusi aktif antar santri). Kurikulum pesantren berfokus pada kitab kuning yang mencakup fikih, tata bahasa Arab, ushuluddin, tasawuf, dan tafsir. Bahasa Arab diajarkan sebagai dasar untuk memahami kitab-kitab agama.
Pada akhir abad ke-19, pesantren sangat menonjolkan kajian fikih dan tata bahasa Arab, dengan pengajaran yang berlangsung secara bertahap sesuai kemampuan santri. Pesantren menjadi lembaga pendidikan yang menanamkan nilai-nilai keagamaan dan pembentukan karakter, serta mempertahankan tradisi Islam di Nusantara.
Pengaruh Kebijakan Kolonial Belanda terhadap Pendidikan Islam
Selama penjajahan Belanda, kebijakan-kebijakan yang diterapkan berdampak signifikan pada pendidikan. Dua kebijakan utama yang mempengaruhi bidang pendidikan adalah Politik Etis dan Ordonansi Guru/Sekolah Liar. Politik Etis diterapkan pada tahun 1901 sebagai bentuk kebijakan balas budi Belanda terhadap Indonesia. Meskipun mengedepankan pendidikan sebagai bagian dari kebijakan ini, Belanda tetap menegakkan kepentingan politik mereka, dengan fokus pada edukasi yang dapat mendukung kepentingan kolonial.
Dalam politik Etis, Belanda melaksanakan trilogi program: edukasi, irigasi, dan transmigrasi. Program edukasi berfokus pada pencerdasan masyarakat, namun tetap memprioritaskan pengendalian kolonial, terutama dalam meredam potensi fanatisme agama Islam. Pendidikan yang didirikan Belanda mendorong munculnya pemikiran baru bagi pengelola pendidikan Islam di Indonesia. Pondok pesantren, yang selama ini dianggap kolot, mulai mendapat sorotan. Sebagian pesantren memilih menutup diri dari pengaruh budaya Barat, sementara yang lain memutuskan untuk mengadopsi ilmu pengetahuan Barat.
Ordonansi Guru/Sekolah Liar, yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1923, bertujuan untuk mengawasi sekolah-sekolah swasta dan madrasah. Pemerintah Belanda khawatir dengan berkembangnya madrasah dan sekolah agama yang dianggap dapat menyebarkan pengaruh Islam. Sebagai respons terhadap reaksi keras umat Islam, kebijakan ini akhirnya dibatalkan setelah mendapat penolakan luas.
Kondisi Pendidikan pada Masa Penjajahan Jepang
Saat Jepang menggantikan Belanda, pendidikan di Indonesia diarahkan untuk mendukung kepentingan perang. Jepang menghapus sistem pendidikan yang dibedakan antara kaum kolonial dan pribumi, serta menggantinya dengan sistem sekolah yang lebih sederhana. Jenjang pendidikan disederhanakan menjadi sekolah rakyat (Kokumin Gakko) selama enam tahun, sekolah menengah tiga tahun, dan sekolah menengah tinggi tiga tahun.
Pendidikan pada masa Jepang sangat dipengaruhi oleh tujuan perang. Murid diwajibkan mengikuti pelatihan fisik, kemiliteran, serta indoktrinasi ideologi Jepang. Proses pembelajaran lebih fokus pada kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan perang, seperti mengumpulkan bahan baku untuk perang dan menanam tanaman untuk kebutuhan logistik.