Tantangan dan signifikansi pendidikan Islam di era globalisasi sangat penting untuk dipahami, terutama dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat. Perubahan dalam tatanan sosial dan moral yang sebelumnya dihargai kini terasa terabaikan. Hal ini memaksa siswa untuk beralih fokus pada ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama bagi mereka yang merasa tertinggal. Dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga meluas ke dalam globalisasi, yang membuka dunia yang lebih terbuka dan saling bergantung antara negara dan manusia. Negara-negara di dunia kini lebih terbuka satu sama lain dan saling bergantung berkat jaringan yang semakin berkembang. Arus informasi yang begitu cepat dan beragam mempengaruhi pengetahuan, termasuk nilai-nilai pendidikan agama Islam.
Gaya hidup yang semakin mengglobal, seperti standar pakaian, kebiasaan makan, dan aktivitas rekreasi, terutama di kalangan anak muda, berdampak pada berbagai aspek sosial, ekonomi, dan keagamaan. Banyak nilai agama yang mulai ditinggalkan, dengan pandangan bahwa nilai-nilai agama dianggap kuno dan terbelakang, sementara gaya hidup modern dianggap lebih progresif. Padahal, seringkali nilai-nilai agama dan moral justru mulai dilupakan dalam kehidupan sehari-hari. Globalisasi juga memunculkan persaingan yang menuntut persiapan matang untuk menghadapi kehidupan global, di mana kecerdasan, keuletan, dan inovasi menjadi hal yang penting. Hal ini membutuhkan upaya yang serius agar generasi bangsa Indonesia tidak tertinggal dan siap menghadapi persaingan global.
Untuk mengatasi dampak negatif globalisasi pada pendidikan, terutama pendidikan agama Islam, sangat diperlukan perhatian lebih. Maju mundurnya suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan warganya. Siswa diharapkan memainkan peran penting dalam pendidikan agama untuk mengembangkan kesempurnaan manusia (kamil) dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah demi kebahagiaan di dunia dan akhirat. Pendidikan agama Islam juga diharapkan dapat memperkuat keimanan siswa sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah di bumi.
K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memberikan pemahaman tentang pendidikan Islam di era globalisasi dengan landasan neomodernisme, yang menggabungkan pengetahuan klasik dan pemikiran kritis Barat. Tujuannya adalah untuk memahami pesan agama secara keseluruhan. Gus Dur juga menekankan bahwa agama seharusnya mendukung kebaikan dan kasih sayang kepada alam semesta, bukan pembatasan atau peminggiran. Pendidikan Islam harus menjadi alat untuk perbaikan diri, kemanusiaan, dan keadilan. Selanjutnya, pendidikan Islam juga harus menghargai multikulturalisme, di mana kelompok-kelompok lain diterima sebagai bagian dari kesatuan, tanpa membedakan budaya, etnis, gender, dan agama.
Mulyawan S. Nugraha dalam artikelnya berjudul Islam dan Tantangan Globalisasi mencatat bahwa ada dua paradigma yang berkembang dalam masyarakat Islam di Indonesia dalam menghadapi globalisasi: konservatif dan liberal. Dia mengusulkan sebuah paradigma moderat yang mencoba menyatukan keduanya. Paradigma ini mengedepankan keluwesan, kesopanan, dan peradaban Islam. Tujuannya adalah agar ajaran Islam tentang kasih sayang, cinta, dan amal dapat diterima secara universal dan menjadi paradigma yang mendalam di masyarakat.
Pada tahun 1999, Fatih Syuhud dalam karyanya The Challenges of Islamic Education menyatakan bahwa meskipun solusi Islam terhadap tantangan pendidikan di era globalisasi dianggap terlalu romantis oleh sebagian orang, fenomena yang terjadi di dunia Islam, khususnya Indonesia, menunjukkan adanya perubahan signifikan. Pembongkaran dikotomi, bertambahnya jumlah profesional IPTEK yang berlatar belakang santri, dan meredanya ketegangan di antara ormas Islam, serta perubahan dalam tatanan politik Indonesia, menunjukkan adanya perubahan besar. Penelitian Syuhud menekankan tantangan pendidikan Islam di era globalisasi dan perubahannya menuju demokrasi yang lebih baik.
Moh. Ali Aziz dalam karyanya Tantangan Pendidikan Islam di Era Global menyimpulkan bahwa selain pendidikan Islam dan pendidikan umum, para profesional pendidikan Muslim juga perlu memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya pendidikan yang terus berkembang. Hal ini sudah mulai berlaku di kalangan pemimpin dan pendidik berbagai lembaga pendidikan Islam yang meningkatkan kualitas pengajaran secara mandiri. Penelitian ini, seperti penelitian sebelumnya, juga mengkaji aspek pendidikan Islam di era globalisasi, namun menyoroti peningkatan pendidikan Islam di era global, terutama dalam aspek multimedia dan teknologi.
Secara keseluruhan, baik penelitian-penelitian terdahulu maupun yang sekarang membahas tantangan pendidikan Islam di era globalisasi, tetapi dengan fokus yang berbeda. Penelitian terdahulu lebih menekankan pada paradigma pendidikan Islam, sementara penelitian yang sekarang menguraikan lebih dalam tentang konsep dan aplikasi pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan globalisasi.
Husni Rahim mengungkapkan bahwa masa depan pendidikan Islam akan dipengaruhi oleh tiga faktor eksternal utama: globalisasi, demokratisasi, dan liberalisme Islam. Syahrin Harahap memberikan gambaran tentang unifikasi global dengan ciri-ciri utama yang perlu dipahami. Pertama, pergeseran dari konflik ideologi dan politik ke bidang bisnis, investasi, dan kuasa, serta perubahan dari "balance of power" ke "balance of interest". Kedua, hubungan antar negara dan masyarakat yang berubah dari ketergantungan menjadi saling bergantung. Ketiga, batas-batas geografis yang semakin kabur, ditentukan oleh kemampuan dalam memanfaatkan keunggulan komparatif dan kompetitif. Keempat, kompetisi antar negara yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi tinggi, yang menciptakan budaya dunia yang efisien namun terkadang mengabaikan nilai dan norma yang tidak ekonomis. Hal ini juga berdampak pada dunia pendidikan, yang kini mengalami peningkatan komersialisasi, dan memunculkan tantangan seperti plagiarisme, kebiasaan menyontek, dan pemalsuan dokumen.
Globalisasi juga mempercepat komersialisasi pendidikan, yang pada gilirannya menimbulkan pertanyaan tentang kualitas pendidikan. Sistem pendidikan yang terlalu berorientasi pada keuntungan bisa menurunkan kualitas dan mengabaikan aspek moral dan intelektual. Hal ini menyebabkan generasi yang kurang seimbang antara kecerdasan dan pengetahuan praktis, serta rentan terhadap penyalahgunaan kemampuan mereka.