Perubahan iklim merupakan meningkatnya suhu di permukaan bumi secara drastis. Temuan beberapa ilmuwan menunjukkan bahwa sejak tahun 2010, bumi mencapai titik terpanas tertinggi dalam sejarah umat manusia.Â
Menurut prediksi Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau IPCC, pada tahun 2100 bumi mencapai titik maksimal yakni meningkat 4 derajat celcius di atas rata-rata suhu global saat ini. Peningkatan suhu ini berpotensi untuk membinasakan makhluk hidup di bumi.
Melihat urgensi perubahan iklim yang semakin parah, 4 mahasiswa asal Universitas Hasanuddin yakni Zidan Patrio, Nurizal Muhair, Djuli Harjanto, dan Nurhamdana melakukan riset dalam Program Kreatifitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) terkait perubahan iklim dan kepemimpinan Gella sebagai pemangku adat di wilayah itu.
Ke-empatnya melakukan penelitian di Dusun Karampuang, Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan. Mereka melihat bahwa masyarakat adat di Karampuang Sinjai memiliki kontribusi besar dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Hal ini karena peran mereka yang tidak terlepas dari pengelolaan hutan yang baik dan telah diturunkan dari beberapa generasi hingga saat ini.
"Masyarakat adat khususnya di Karampuang merupakan yang akan paling terkena dampak dari perubahan iklim, karena kehidupan mereka memiliki hubungan kuat dengan lingkungan mereka," ungkap Zidan selaku ketua tim.
Riset yang dilakukan dari Juni hingga September itu menemukan bahwa bahwa ada tiga peran utama yang dimiliki oleh Gella sebagai pemangku adat untuk memitigasi perubahan iklim yakni, peran pengelolaan hutan menggunakan hukum adat dan mitos, peran dalam adaptasi perubahan iklim melalui pertanian berkelanjutan, dan peran advokasi dan kolaborasi.
Peran melalui hukum adat dan mitos menjadi hal yang paling utama. Dalam adat Karampuang. Beberapa larangan yakni pembalakan liar, menetapkan aturan persetujuan dalam pengelolaan hasil hutan, membatasi penebangan oleh masyarakat hanya sesuai kebutuhan penting saja, dan mewajibkan penanaman minimal lima pohon sebagai kompensasi untuk penebangan satu pohon.Â
Mereka yang melanggar konsesi ini akan dihukum sesuai dengan hukum adat yang dikenal dengan Pabbatang di wilayah itu. Pelanggar akan mendapat sanksi berupa penolakan layanan pemangku adat dan risiko pengusiran dari kampung.
Dalam pengelolaan hutan adat Karampuang juga dikenal hutan keramat. Narasi mitologis berlangsung di hutan keramat yang tidak boleh disentuh atau dimanfaatkan oleh masyarakat.Â
Masyarakat Karampuang meyakini pesan Gella bahwa siapapun yang memasuki dan memanfaatkan hutan keramat akan mendapatkan hal-hal buruk, seperti kecelakaan dan penyakit. Pelarangan ini berkontribusi pada upaya mitigasi perubahan iklim dengan tetap terjaganya hutan berkat adanya hukum dan mitologi tersebut.