We are people of this generation, bred in at least modest comfort, housed now in universities, looking uncomfortably to the world we inherit
The Port Huron Statement, by Students for a Democratic Society (SDS), 15 Juni 1962.
Beberapa waktu lalu saya menonton film biografi seorang tokoh yang berpengaruh dalam sejarah Amerika Serikat berjudul Mark Felt: The Man Who Brought Down the White House (2017). film tersebut menceritakan tentang kisah seorang petinggi Federal Bureau of Investigation (FBI) bernama William Mark Felt tentang perannya dalam mengungkap skandal Watergate, yang melibatkan dan berujung pada mundurnya Presiden Richard Nixon sebagai Presiden Amerika Serikat pada tanggal 8 Agustus 1974.
Terdapat satu adegan menarik dalam film tersebut, yakni ketika Direktur FBI Patrick Gray tunduk pada White House. Mark Felt menjelaskan dengan tegas dan jelas pada Patrick Gray bahwa FBI tidak berada di bawah Presiden, oleh karena itu Presiden tidak dapat dan tidak memiliki wewenang mengintervensi FBI.
Sejenak saya berpikir tentang bagaimana kabar institusi-institusi, yang ada di negara kita. Saya rasa orang-orang di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung (Kejagung), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK) harus menonton film tersebut dan menempatkan penjelasan Mark Felt itu di bagian paling dalam di otak mereka. Terkhususnya KPK, yang akan menjadi pokok pembahasan pada tulisan ini.
Â
Betapa Garangnya KPK di Masa itu
Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo menyampaikan bahwa indeks persepsi korupsi (IPK) atau Corruption Perseption Index (CPI) Indonesia berada di peringkat ketiga se-Asean. Namun melansir dari Transparency International pada tahun 2023 Corruption Perception Index (CPI) Indonesia pada tahun 2019 mendapat skor 40 dan pada tahun 2022 mengelami penurunan menjadi 34.
Pada tahun 2023 Indonesia mendapat skor 34/100 yang berarti berada di peringkat 115 dari 180 negara yang di survey. Hal ini berarti menandakan bahwa negara kita belum maksimal dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi.
Transparency International juga memberikan rekomendasi kepada pemangku jabatan atas penilaian tersebut. Berikut isi salah satu kalimat dalam rekomendasinya,
"Sistem peradilan dan penegakan hukum yang bebas dari campur tangan cabang kekuasaan lain, sumber daya dan transparansi yang diperlukan untuk secara efektif menghukum semua pelanggaran korupsi dan memberikan pengawasan dan keseimbangan kekuasaan."
Kegarangan KPK pun tak lepas dirasakan oleh ketua partai politik, pada tahun 2013 ketua Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Lutfi Hassan Ishaaq terlibat kasus kuota impor daging sapi (vonis 16 tahun), ditahun yang sama ketua partai demokrat Anas Urbaningrum terlibat kasus proyek Hambalang (vonis 14 tahun), tahun 2014 ketua partai persatuan pembangunan (PPP) Suryadharma Ali terlibat kasus dana haji (vonis 10 tahun), tahun 2016 ketua partai golongan karya (golkar) Setya Novanto terlibat kasus e-KTP (vonis 15 tahun), dan pada tahun 2019 ketua partai persatuan pembangunan (PPP) terlibat kasus jual beli jabatan di Kementerian agama (Kemenag).
Tidak berhenti disitu Jenderal Polisi, Ketua MK (Akil Mochtar), dan Hakim Adhoc Tipikor tidak bisa lepas dari jeratan KPK.
Kegarangan KPK pada masa itu telah dibayar melalui Ramon Magsaysay Award tahun 2013. Melansir dari situs The Ramon Magsaysay Award Foundation, Ramon Magsaysay Award adalah penghargaan yang diciptakan untuk menghormati kebesaran jiwa yang ditunjukkan dalam pengabdian kepada masyarakat Asia---tanpa memandang ras, jenis kelamin, atau agama.
Alasan KPK mendapat pengharaan "Nobel Asia" tersebut tertulis dalam situs The Ramon Magsaysay Award Foundation,
"Organisasi ini terbukti independen dan sukses mengampanyekan gerakan antikorupsi di Indonesia dengan mengombinasikan upaya penegakkan hukum terhadap pejabat yang berbuat salah didukung cita-cita reformasi sistem tata kelola dan kampanye edukatif terhadap seluruh warga Indonesia agar waspada, jujur dan aktif."
Â
Undang-undang Sarat Kepentingan
"power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely"
Lord Acton
Pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi,
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Pasal tersebut menjelaskan dengan tegas bahwa KPK merupakan lembaga negara yang tidak berada dalam rumpun kekuasaan mana pun, KPK bersifat independen dan tanpa intervensi. KPK tidak berada di bawah pejabat eksekutif lain termasuk Presiden.
Namun Revisi UU KPK Tahun 2019 menempatkan institusi ini dalam rumpun eksekutif yang berarti berada dibawah Presiden pula. Lantas hal tersebut nampaknya tidak sesuai dengan latar belakang dibentuknya institusi ini, yakni ketidak puasan atas kinerja Polri dan Kejaksaan dalam menangani korupsi.Â
Revisi UU KPK menjadi UU No 19 Tahun 2019 yang meletakkan KPK di bawah rumpun eksekutif dan dibentuknya Dewan Pengawas KPK berdasarkan Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 menyebabkan kegundahan dikalangan ahli dan pengamat Hukum Tata Negara. Â Prof. Denny Indrayana menjelaskan pada saat menjadi Ahli Pemohon Perkara 59/PUU-XVI/2019 sebagai berikut,
"Bagaimana KPK kemudian dimasukkan ke dalam executive agency, tidak lagi sebagai independent agency. Dewan Pengawas dengan segala kewenangannya, terutama dalam perizinan-perizinan terkait dengan hukum yang memaksa, penyadapan, penggeledahan dan lain-lain, menurut kami sudah masuk ke dalam tataran yang merusak independensi KPK."
Menurut hemat revisi UU KPK merupakan produk hukum yang dihasilkan oleh konfigurasi politik yang buruk. Prof. Mahfud MD dalam bukunya yang berjudul Politik Hukum di Indonesia menguraikan bahwa konfigurasi politik otoriter (Variable bebas) akan melahirkan karakter produk hukum ortodoks (Variable terpengaruh). Dengan indikator sebagai berikut:
- Partai politik dan Parlemen lemah, di bawah kendali eksekutif.
- Lembaga eksekutif (Pemerintah) intervensionis.
- Pers terpasung, diancam sensor, dan pemberedelan.
KPK Sang Macan Ompong
Tom Ginsburg dalam tulisannya "Democratic Backsliding and the Rule of Law" menyebutkan lima faktor utama terkikisnya demokrasi. Salah satunya adalah merusak negara hukum dan institusi pelindung negara hukum dengan melakukan konsolidasi kekuasaan di eksekutif. Apakah hal tersebut terjadi di Indonesia?
Iya, melalui revisi Undang-undang KPK Tahun 2019. Revisi Undang-undang KPK lantas menimbulkan pertanyaan lain, jika pimpinan KPK tidak lebih tinggi oleh Dewan Pengawas KPK. Pertanyaannya ialah siapa yang mengawasi Dewan Pengawas? Â
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 menempatkan KPK di ranah eksekutif, membuat KPK teramat mungkin untuk di politisasi oleh kepala eksekutif. Apakah kita boleh menduga?
Saya rasa kita sangat boleh menduga dan harus waspada. Mengingat kejadian baru-baru ini tiga kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang mendapat panggilan dan penggeledahan oleh KPK.
PDI-P yang mulai lantang terhadap pemerintah tentunya menjadi ancaman bagi Jokowi dan elite politik lain. Apabila selama ini ada yang menganggap bahwa KPK tidak di intervensi kekuasaan dan tidak di politisasi, maka ada dua kemunginan. Kemungkinan pertama dia memang tidak mengetahui dan kemungkinan kedua dia berpura-pura tidak mengetahui.
Tempo bahkan menyebutkan bahwa orang suci sekalipun yang menjadi pimpinan KPK tidak akan mampu menolong. DPR telah membebek, KPK di politisasi, dan Mahkamah Konstitusi yang sibuk berbenah terancam di pereteli. Lantas kepada siapa kita harus berharap?
Sebelum Undang-undang KPK dikembalikan sebelum revisinya tahun 2019, sulit di masa yang akan datang melihat KPK sebagai instrumen pemberantasan korupsi yang disegani. Paling-paling kita hanya akan melihat KPK sebagai alat bagi para elite politik.
Prof. Denny Indrayana menyebut bawah, "KPK sekarang sudah mati. Sekarang kita melihat KPK secara institusi masih ada, tapi roh dan spiritnya sudah tidak ada."
Tanggung jawab untuk mengembalikan KPK pada jalan pemberantasan korupsi tentunya berada di pundak Presiden terpilih Prabowo Subianto. Disitulah kesempatan bagi Prabowo untuk membuktikan apakah dia benar-benar Presiden Republik Indonesia atau hanya sebatas boneka Jokowi.
Apakah masih ada harapan? Saya berani berkata bahwa sekecil apaun, harapan akan selalu ada dan peran kita sebagai mahasiswa terkhususnya mahasiswa fakultas hukum turut serta dalam mengawal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H