Mohon tunggu...
Zidane Heri Saputra
Zidane Heri Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Law student

Constitutional law

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kapan KPK Tak Kalian Jadikan Macan Ompong Lagi?

17 Agustus 2024   19:11 Diperbarui: 17 Agustus 2024   19:39 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasal tersebut menjelaskan dengan tegas bahwa KPK merupakan lembaga negara yang tidak berada dalam rumpun kekuasaan mana pun, KPK bersifat independen dan tanpa intervensi. KPK tidak berada di bawah pejabat eksekutif lain termasuk Presiden.

Namun Revisi UU KPK Tahun 2019 menempatkan institusi ini dalam rumpun eksekutif yang berarti berada dibawah Presiden pula. Lantas hal tersebut nampaknya tidak sesuai dengan latar belakang dibentuknya institusi ini, yakni ketidak puasan atas kinerja Polri dan Kejaksaan dalam menangani korupsi. 

Revisi UU KPK menjadi UU No 19 Tahun 2019 yang meletakkan KPK di bawah rumpun eksekutif dan dibentuknya Dewan Pengawas KPK berdasarkan Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 menyebabkan kegundahan dikalangan ahli dan pengamat Hukum Tata Negara.  Prof. Denny Indrayana menjelaskan pada saat menjadi Ahli Pemohon Perkara 59/PUU-XVI/2019 sebagai berikut,

"Bagaimana KPK kemudian dimasukkan ke dalam executive agency, tidak lagi sebagai independent agency. Dewan Pengawas dengan segala kewenangannya, terutama dalam perizinan-perizinan terkait dengan hukum yang memaksa, penyadapan, penggeledahan dan lain-lain, menurut kami sudah masuk ke dalam tataran yang merusak independensi KPK."

Menurut hemat revisi UU KPK merupakan produk hukum yang dihasilkan oleh konfigurasi politik yang buruk. Prof. Mahfud MD dalam bukunya yang berjudul Politik Hukum di Indonesia menguraikan bahwa konfigurasi politik otoriter (Variable bebas) akan melahirkan karakter produk hukum ortodoks (Variable terpengaruh). Dengan indikator sebagai berikut:

  • Partai politik dan Parlemen lemah, di bawah kendali eksekutif.
  • Lembaga eksekutif (Pemerintah) intervensionis.
  • Pers terpasung, diancam sensor, dan pemberedelan.

KPK Sang Macan Ompong

Tom Ginsburg dalam tulisannya "Democratic Backsliding and the Rule of Law" menyebutkan lima faktor utama terkikisnya demokrasi. Salah satunya adalah merusak negara hukum dan institusi pelindung negara hukum dengan melakukan konsolidasi kekuasaan di eksekutif. Apakah hal tersebut terjadi di Indonesia?

Iya, melalui revisi Undang-undang KPK Tahun 2019. Revisi Undang-undang KPK lantas menimbulkan pertanyaan lain, jika pimpinan KPK tidak lebih tinggi oleh Dewan Pengawas KPK. Pertanyaannya ialah siapa yang mengawasi Dewan Pengawas?  

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 menempatkan KPK di ranah eksekutif, membuat KPK teramat mungkin untuk di politisasi oleh kepala eksekutif. Apakah kita boleh menduga?

Saya rasa kita sangat boleh menduga dan harus waspada. Mengingat kejadian baru-baru ini tiga kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang mendapat panggilan dan penggeledahan oleh KPK.

PDI-P yang mulai lantang terhadap pemerintah tentunya menjadi ancaman bagi Jokowi dan elite politik lain. Apabila selama ini ada yang menganggap bahwa KPK tidak di intervensi kekuasaan dan tidak di politisasi, maka ada dua kemunginan. Kemungkinan pertama dia memang tidak mengetahui dan kemungkinan kedua dia berpura-pura tidak mengetahui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun