Pemilihan umum (pemilu) merupakan puncak pesta demokrasi yang menjamin hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih. Namun, bagi sebagian masyarakat penyandang disabilitas, hak tersebut seringkali terkendala oleh minimnya aksesibilitas dan akomodasi khusus dalam proses pemilu. Menjelang Pemilu 2024, gerakan advokasi untuk mewujudkan pemilu yang inklusif semakin menguat, dipimpin oleh organisasi-organisasi penyandang disabilitas.
Contoh nyata upaya ini dapat dilihat dari kampanye yang digalang oleh Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI). Menjelang Pemilu 2024, PPDI mengampanyekan perbaikan aksesibilitas di Tempat Pemungutan Suara (TPS), seperti menyediakan jalur khusus, bilik suara yang dapat dijangkau kursi roda, serta salinan surat suara dalam bentuk braille dan audio. Langkah ini bertujuan untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas fisik dan sensorik dapat menggunakan hak pilihnya secara mandiri dan rahasia.
"Pemilu yang inklusif bukan hanya soal pemenuhan hak, tapi juga merupakan cerminan kedewasaan demokrasi suatu bangsa," tegas Aris Wahyudi, Ketua PPDI. "Kami berharap KPU dapat mendengar aspirasi kami dan mengambil langkah-langkah konkret untuk mewujudkan partisipasi penuh penyandang disabilitas dalam Pemilu 2024."
Selain itu, PPDI juga mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk meningkatkan partisipasi pemilih disabilitas melalui program pendidikan pemilih dan rekrutmen petugas TPS khusus. Hal ini penting untuk mengatasi kendala seperti kurangnya pemahaman tentang proses pemilu dan minimnya pendampingan yang sesuai kebutuhan khusus mereka.
Advokasi serupa juga dilakukan oleh organisasi lain seperti Perhimpunan Jiwa Semesta (Persatuan Penyandang Disabilitas Mental) yang menyuarakan kebutuhan akomodasi bagi penyandang disabilitas mental dan intelektual. Mereka mengusulkan pelatihan khusus bagi petugas TPS dalam memberikan pendampingan yang tepat kepada kelompok ini.Â
Meski upaya advokasi terus bergulir, tantangan utama yang dihadapi adalah konsistensi implementasi di lapangan. Pada Pemilu 2019 lalu, masih banyak ditemukan TPS yang tidak ramah difabel, baik dari segi akses fisik maupun layanan pendampingan.Â
Menurut kajian Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sekitar 30% TPS di Indonesia belum menyediakan aksesibilitas yang memadai bagi penyandang disabilitas pada Pemilu 2019. Kondisi ini tentu menjadi hambatan besar dalam upaya meningkatkan partisipasi politik kelompok rentan tersebut.
Oleh karena itu, kolaborasi erat antara KPU, organisasi penyandang disabilitas, dan seluruh pemangku kepentingan menjadi kunci untuk mewujudkan pemilu yang benar-benar inklusif dan partisipatif. Pemerintah daerah juga perlu terlibat dalam mengalokasikan anggaran dan sumber daya yang memadai untuk menyediakan fasilitas pendukung di setiap TPS.
Hak untuk memilih merupakan hak asasi yang melekat pada setiap warga negara, tanpa terkecuali. Melalui upaya advokasi yang berkelanjutan, Indonesia diharapkan dapat menunjukkan komitmennya dalam menjamin partisipasi politik penyandang disabilitas dan memperkuat demokrasi yang merangkul seluruh lapisan masyarakat.
"Kami berharap KPU dan pemerintah dapat merespons tuntutan kami dengan tindakan nyata, bukan hanya janji belaka," ujar Wahyudi. "Pemilu 2024 harus menjadi tonggak sejarah bagi penyandang disabilitas untuk terlibat secara setara dalam proses demokrasi."