Resensi Buku: Pembusukan Demokrasi: Representasi Populis dan Implikasinya bagi Demokrasi dalam Filsafat Politik Nadia Urbinati
Populisme sering disebut sebagai paradoks demokrasi: ia lahir dari sistem demokrasi, namun perlahan menggerogotinya. Dalam buku Pembusukan Demokrasi: Representasi Populis dan Implikasinya bagi Demokrasi dalam Filsafat Politik Nadia Urbinati, Pius Pandor menyuguhkan analisis tajam dan mendalam tentang fenomena ini. Buku yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 30 Oktober 2024 ini bukan hanya sebuah kajian akademis, tetapi juga panduan praktis untuk memahami dinamika politik modern yang kian kompleks.
Narasi Populisme: Janji Manis yang Menghancurkan
Populisme sering kali hadir dengan retorika sederhana yang memikat. Mengklaim diri sebagai suara rakyat, populisme memposisikan institusi demokrasi formal sebagai musuh. Dalam buku ini, Pius Pandor mengupas bagaimana representasi populis memanfaatkan narasi mayoritas untuk menciptakan ilusi bahwa kekuasaan mereka sepenuhnya sah. Namun, di balik itu semua, ada degradasi nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan, pluralisme, dan akuntabilitas.
Bab awal buku ini, Permasalahan Representasi Populis, menjadi fondasi penting dalam memahami mengapa populisme begitu berbahaya. Dengan menyitir pemikiran Nadia Urbinati, Pius menjelaskan bahwa populisme bukan sekadar strategi politik, melainkan upaya sistematis untuk memanipulasi konsep kehendak rakyat. Di bab berikutnya, Representasi Populis sebagai Strategi Politik, penulis memaparkan bagaimana kaum populis menguasai narasi publik, melemahkan oposisi, dan mengkonsolidasikan kekuasaan tanpa harus tunduk pada mekanisme kontrol demokrasi.
Lensa Diarki dan Realisme Politik
Keunikan buku ini terletak pada pendekatannya yang menggunakan konsep diarki dan realisme politik. Diarki, yang merujuk pada dualitas legitimasi antara rakyat dan institusi formal, menjadi alat analisis utama untuk memahami ketegangan yang terjadi dalam populisme. Pius menunjukkan bahwa populisme sering kali memanfaatkan legitimasi rakyat untuk melemahkan institusi formal, yang pada akhirnya merusak keseimbangan demokrasi.
Dalam bab Representasi Populis dari Lensa Realisme Politik, Pius mengajak pembaca untuk melihat populisme sebagai fenomena yang tidak hanya normatif, tetapi juga realistis. Ia menjelaskan bahwa populisme, meskipun merusak, sering kali menjadi respons atas kegagalan institusi formal dalam mengartikulasikan kehendak rakyat. Dengan pendekatan ini, Pius tidak hanya memberikan kritik, tetapi juga menawarkan wawasan untuk memperbaiki sistem demokrasi.
Relevansi bagi Politik Indonesia
Buku ini hadir di saat yang tepat, ketika Indonesia tengah menghadapi tantangan populisme yang semakin nyata. Dalam konteks pemilu dan dinamika politik sehari-hari, narasi populis sering digunakan untuk meraih dukungan publik. Namun, seperti yang diungkapkan Pius, populisme tidak hanya berhenti pada retorika. Ia juga berujung pada kebijakan yang tidak berkelanjutan, sentralisasi kekuasaan, dan lemahnya kontrol institusional.