Masa masa menyenangkan adalah masa masa Ketika duduk di bangku sekolah. Sebagian orang pasti setuju dengan hal tersebut. Bagaimana tidak, tugas kita saat itu hanya berangkat sekolah setiap hari selama lima hari dalam seminggu. Lalu, apa yang diperbuat di sekolah? Tentu orang tua kita mengharapkan kita menjadi anak yang pintar dan dapat memperoleh ilmu di sekolah. Tapi, yang sebenarnya terjadi tidak lah yang diharapkan. Yang penting bagi kita dapat uang jajan setiap hari saat sekolah sudah cukup. Masa bodo tentang Pelajaran atau tugas yang diberikan, yang penting bisa nongkrong, main warnet, jajan jajan, atau bermesraan dengan doi. Kendati demikian, ada Sebagian orang yang merasa kurang beruntung saat mengenyam pendidikan. Misalnya harus bekerja setelah sekolah sehingga tidak dapat menikmati waktu untuk berfoya foya seperti anak sekolah pada umumnya.
Seperti anak anak lain pada umumnya, dahulu saat saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar, saya hanya memikirkan permainan apa yang belum pernah saya coba, jajanan apa yang harus saya coba dan mengapa gravitasi itu hanya ada di bumi. Itulah merupakan sekelumit pikiran bocah yang masih belum memikirkan masa depan. Boro boro memikirkan "besar nanti mau jadi apa?" saya saja masih bingung setelah lulus SD nanti mau lanjut ke SMP mana. Memasukki bangku sekolah SMP, saya mulai memikirkan bahwasannya setelah lulus SMA, pastinya enak bekerja dapat duit dan bisa membeli apa saja yang kita inginkan. Saya juga merasa bersekolah rasanya kurang worth it karena yang kita peroleh hanya ilmu yang entah dapat digunakan atau tidak dalam kehidupan sehari hari. Pemikiran saya saat itu berfikir bahwa menjadi orang dewasa itu enak, tidak terikat dengan aturan aturan sekolah yang repot, bebas melakukan apa saja, hingga bisa bekerja mendapatkan uang. Setidaknya, itulah pemikiran saya terhadap orang dewasa. Rasanya saat itu ingin cepat cepat lulus SMP lanjut ke SMK dan langsung bekerja setelah itu.
Sayangnya, niat masuk ke sekolah kejuruan pupus karena tidak dapat restu dari orang tua. Orang tua lebih memilih saya untuk bersekolah di MA (Madrasah Aliyah) ketimbang SMK. Ya sudahlah, saya turuti saja perintah orang tua daripada nanti kualat. Selama duduk di bangku MA itulah saya benar benar hilang arah setelah lulus nanti, apa yang harus saya lakukan. Orang tua merekomendasikan saya untuk kuliah di PTN setelah lulus, namun entah kenapa saya optimis untuk bisa mengabulkan hal tersebut. Perencanaan saya saat itu adalah setelah lulus sekolah, saya akan kuliah sambil kerja part time atau freelance. Tentu hal itu bertujuan agar saya tidak terlalu membebani orang tua. Dihari kelulusan sekolah tiba, saya pun langsung mengeksekusi rencana untuk bisa berkuliah di PTN dengan mengikuti SBMPTN mengingat saat itu saya tidak lolos SNMPTN. Namun, sayangnya saya masih belum diberi kesempatan untuk berkuliah di PTN. Maka dari itu, saya merencanakan plan cadangan, yaitu dengan bekerja selama satu tahun untuk mengumpulkan uang sembari menunggu SBMPTN ataupun Ujian Mandiri PTN tahun depan. Orang tua saya pun kontra dengan plan cadangan saya, alhasil saya pun hanya diperbolehkan kerja freelance sebagai ojek online. Sebenarnya orang tua pun mengharapkan saya bisa kuliah di PTN setelah lulus.
Dimasa masa setelah lulus sekolah, memang saya masih menikmati pekerjaan sebagai ojek online dengan penghasilan bersih seratus ribu per hari kala itu. Tapi lama kelamaan, saya mulai menemukan sebuah titik sulit atau masa sulit. Satu tahun setelahnya, saya memutuskan untuk kuliah di Perguruan tinggi swasta, bukan tidak mungkin penyebabnya saya gagal lagi lolos seleksi SBMPTN. Disitulah saya mulai merasakan ditampar realita kehidupan pertama kalinya dan merasa gagal. Faktanya persaingan yang ketat untuk masuk perguruan tinggi memang harus saya telan dengan pahit. Frustasi, overthinking, dan mudah putus asa saya rasakan kala itu. Namun, perlahan lahan saya bangkit untuk tidak terlalu terpuruk. Tetapi, itu hanya permulaan, beberapa tahun kemudian saat saya menempuh pendidikan strata satu (S1), tibalah saya di semester tujuh. Semester tujuh diharuskan bagi mahasiswa di kampus saya untuk mengikuti program magang dengan minimal jangka waktu tiga bulan. Dengan optimisme dan rasa percaya diri, saya mengajukan magang di beberapa Perusahaan profit maupun nonprofit. Tapi, sayangnya tidak ada satupun penawaran untuk bisa magang di Perusahaan tersebut. Entah, apa yang salah dari saya. Apakah cv saya yang salah? Atau adanya persaingan untuk bisa magang di Perusahaan yang kian hari makin rumit? Dari situ saya berfikir, baru mau lamar magang saja susahnya minta ampun, apalagi nanti lamar pekerjaan. Mau tidak mau, saya pun magang di kantor instansi pemerintahan yang selalu open recruitment untuk anak magang atau PKL (Praktik Kerja Lapangan). Tidak lain alasan mereka selalu butuh anak magang karena mereka tidak harus dibayar, otomatis SDM tambahan berupa anak magang akan terasa menguntungkan. Begitu menyakitkan memang, tapi yah mau bagaimana lagi demi kewajiban dari kampus.
Selesai masa magang, saya pun berniat mengasah skill untuk bisa berpeluang diterima bekerja. Lagi lagi hal itu tidak dapat meningkatkan peluang untuk bisa diterima bekerja. Fakta pada info lowongan kerja, mereka lebih membutuhkan kandidat yang berpengalaman di bidangnya. Ya, inilah tamparan yang sangat keras sekali. Setelah hidup bertahun tahun di zona nyaman, kedewasaan ini seakan disuguhkan oleh realita hidup yang amat menyakitkan dan memprihatinkan. Jika waktu bisa diputar kembali, dimasa sekolah saya akan lebih belajar dan mengasah skill yang dibutuhkan pada dunia kerja ketimbang harus menghafal Pelajaran Pelajaran sekolah. Walaupun Sebagian kecil Pelajaran Pelajaran sekolah penting dan dapat diimplementasikan dalam dunia kerja. Sisanya, hanya menjadi bahan persiapan untuk seleksi masuk PTN atau PNS. Pada dasarnya dalam dunia kerja, Perusahaan lebih membutuhkan skill dan pengalaman dalam bidang tertentu ketimbang nilai dan prestasi akademik. Mau tidak mau, saat ini saya harus menjalani proses untuk bisa diterima dalam dunia kerja. Walau entah sampai berapa lama harus menjalani proses ini.
Rasanya kalo difikir fikir mindset saya dulu saat duduk di bangku sekolah berekspetasi menjadi orang dewasa itu memang tidak sesuai dengan realita yang saya alami saat ini. Walau ada beberapa point yang memang dirasa benar, tetapi entah kenapa rasanya ingin balik saja ke zaman waktu masih duduk di bangku sekolah dengan tanpa beban fikiran akan kecemasan menata masa depan. Sungguh ironi memang, bahwa menjadi dewasa tidak selamanya nikmat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H