Mohon tunggu...
Ziaw Noha
Ziaw Noha Mohon Tunggu... Akuntan - Menulis adalah nafasku

Aku menulis karena aku mencintainya. Di setiap ide-ide yang terlintas dalam benakku, di setiap aksara yang tergores dari penaku dan di setiap kebenaran yang terpancar untuk masyarakatku. Sungguh, aku mencintainya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aromanya Sudah Tidak Enak Lagi

26 Juli 2020   21:07 Diperbarui: 26 Juli 2020   21:02 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Ziaw Noha

Langit malam memerah. Angin dingin bertiup lembut membelai telinga Gio yang bergeming di sudut samping kedai kopi kesukaannya. Dari pintu kedai terlihat seorang laki-laki paruh baya keluar sembari merapatkan jaketnya---tak tahan dengan terpaan angin mengenai kulitnya. Ia menggigil, menatap langit dan bergumam pelan, "Sebentar lagi hujan. Kita bergegas sekarang."

Perempuan di sebelahnya segera menggendong anak kecil yang sedari tadi bersamanya. Gio menghirup dalam-dalam aroma kopi yang keluar dari celah pintu kedai. Selanjutnya, Gio melihat mereka masuk mobil dan meninggalkan kedai kopi setelah menyerahkan uang recehan kepada tukang parkir.

Gio menghela nafas. Pandangannya nanar mengikuti mobil itu berbelok di tikungan lalu menghilang. "Ayah, semoga kau bahagia di surga," ucapnya teringat ayahnya yang telah tiada. Matanya basah. Buru-buru ia mengelapnya dengan lengan baju ketika seseorang menyisipkan lebaran uang ditangannya.

Gio belum sempat melihat laki-laki baik hati itu, bahkan sebelum ia sempat mengucapkan terima kasih, malaikat itu menghilang. Ini sudah ketujuh kalinya Gio mendapatkan uang pemberian orang yang lewat.

Di kota ini, anak-anak kecil seperti dirinya, yang berjalan di malam hari dengan karung di pundak, mengais-ngais tong sampah mencari botol plastik bekas, kardus bekas atau barang tidak berguna yang bisa diloakan adalah pemandangan biasa.

Ketika capek berjalan, biasanya mereka duduk di pinggir mini market atau tempat orang berlalu-lalang. Kerap pembeli yang lewat dan melihat mereka akan merasa iba dan memberikan uang. Ibu Gio melarangnya menerima pemberian itu.

"Kita bukan pengemis, Nak. Jangan mengharapkan belas kasihan orang lain. Kita mencari uang dengan kerja keras yang halal, bukan dengan sengaja membuat orang lain iba."

Gio tak pernah mengharapkan uang pemberian orang lewat. Ketika capek, Ia sengaja tidak memilih duduk di depan mini market atau jalanan ramai tempat orang berlalu-lalang. Gio lebih memilih duduk di sudut samping kedai kopi---tepat di bagian paling gelap agar tidak terlihat orang lain. Tapi tetap saja, selalu saja ada orang-orang baik yang ingin berbagi rejeki.

Gio biasanya menolak pemberian mereka, tapi semakin Gio menolaknya, mereka semakin ikhlas memberikannya, bahkan beberapa kali ada yang menambahkannya. Dan setiap kali ia melihat uang-uang itu, Gio merasa bersalah karena gagal menjalankan nasihat ibunya.

Segerombolan anak muda tertawa dan masuk ke dalam kedai. Aroma kopi menyeruak melalui celah pintu mengalir melewati hidung Gio. Aroma khas yang paling Gio sukai. Gio menatap lembaran uang di tangannya yang cukup banyak. Hatinya tergoda menggunakannya sebagian untuk membeli kopi yang selalu diinginkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun