Hari ini 12 November 2018, padahal sedang musim hujan di Indonesia namun kenapa terasa panas ya? Terlihat hanya perdebatan dan saling hujat saja yang sealu dipertontonkan. Rasanya polisi bertugas dua kali lipat lebih ekstra dari pada hari-hari biasanya, terlalu banyak laporan penghinaan hari-hari ini. Orang yang kita anggap benar tertuduh dengan alasan yang lucu, mereka yang merasa beragama dengan benar melakukan perbuatan yang meresahkan dan parahnya menghinakan agama mereka sendiri. Salahkah jika masyarakat dan umat ini tak peduli lagi? Loe loe dan gue gue!
Suasana di Indonesia amatlah panas, mungkin lebih panas dari pada Arab Saudi yang suhunya acap 50 derjat celcius. Bukan alamnya yang panas tapi manusia Indonesia yang membuat panas itu sendiri, bukan karena hutan pada di bakar tapi masalah kecil di anggap besar dan guyonan dijadikan perdebatan pikiran. Salahkah jika masyarakat dan umat kini beralih pada acara hiburan? Terpingkal-pingkal rasanya seperti ekstaksi untuk melupakan kemelut dunia ini.
Jika ada yang bertanya, "apa bentuk wajah Indonesia"?
Bilang saja "sedang marah". Toh memang dimana-mana orang sedang marah.
Entah sampai kapan kita akan marah-marah, mungkin sampai struk anggota tubuh kita. Tapi jangan, jangan, kami masih sayang Indonesia. Kami tak ingin Indonesia hanya menjadi orantua pemarah, kami ingin Indonesia menjadi orangtua yang bijaksana, ramah dan jika perlu humoris.
Andaikan Indonesia adalah kakek yang humoris?
Indonesia dan Islam adalah satu mata koin yang tak terpisahkan kedua sisinya. Keduanya saling berhubungan dan terikat. Filosofi dan nilai-nilai bangsa banyak terserap dari Islam, maka keduanya adalah satu kesatuan nan mendukung bukan musuh yang saling menyikut. Marilah kita mulai mengakui siapa diri kita dan tidak sibuk pada pergolakan batin.
Humoris adalah sifat alternatif dari kegaluan zaman akan problem yang tak berkesudahan. Sifat humoris menjadi penawar akan tekanan tinggi yang dihasilkan oleh pergolakan politik, sifat humoris juga reflesh untuk kondisi kita hari ini, dan ia adalah garam kehidupan, tanpanya kehidupan menjadi hambar.
Sepakat kita bahwa tekanan otak kita hari-hari ini sangat panas, mari sejenak kita tersenyum dan tertawa ria. Bukankah kehidupan adalah senda gurau? Lalu kenapa harus marah-marah dengan apa yang terjadi? Bukankah anak-anak lebih suka mempermainkan kakek-kakek yang pemarah? Sekarang siapa anak-anaknya dan siapa kakek-kakeknya?Â
Sensasi atau subtansi?
Jika boleh bertanya lagi apakah yang kita perdebatkan adalah subtansi atau sekedar mencari sensasi? Acap perdebatan yang terjadi hanyalah mencari sensasi semata, orang-orang yang mencari masalah dan kerusuhan banyak orang hanya untuk mencari heboh dan sensasi saja, seperi kisah seorang bocah yang minta tolong pada masyarakat bahwa kerbaunya diterkam singa, padahal itu bohong dan masyarakat tahu itu. Lalu kenapa harus marah? Kenapa harus bawa parang untuk membuat anak itu jera? Dan kenapa harus satu kampung mengejar bocah ini?