4 Mei 1947, di sebuah masjid di Yogyakarta telah bersimpuh seorang pemuda memikirkan nasib bangsanya, dilihat negaranya yang masih prematur ini rentan akan goncangan, ditatapnya para muda-mudi yang selalu bersebrangan, kaum pelajar saling hujan-menghujat yang santri mengkafirkan anak sekolah umum dan yang sekolah umum mengolotkan yang santri.
Sebagai pemuda, Yoesdi Gazali sangat resah dengan kondisi Indonesia saat itu, khususnya dunia pelajar. Ia sadar akan tanggung jawabnya sebagai pemuda bangsa, maka dalam tahajutnya hidayah itu turun, Pelajar Islam Indonesia jawabannya.
Pelajar Islam Indonesia (PII) adalah organisasi pelajar yang telah lama hadir dikancah sejarah Indonesia. Perannya dalam menyatukan pelajar pondok (santri) dan umum adalah prestasi gemilang yang sangat dihargai. Hampir mustahil rasanya untuk menyatukan dua kubu ini, dan berkat PII keduanya berada dalam satu rumpun yang sama dan satu cita-cita yang sama yaitu Indonesia lebih baik.
Tak hanya itu, perjuangannya untuk Indonesia mendapat sambutan yang hangat dari Jendral Sudirman saat ulang tahun pertama PII pada tanggal 4 Mei 1948 : "saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada anak-anakku PII sebab saya tahu, bahwa telah banyak korban yang telah diberikan oleh Pelajar Islam Indonesia kepada negara."
Pada tahun 1966 PII menjadi motor penggerak dari runtuhnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam pemerintah. PII menjadi pasukan garis depan dari perlawanan terhadap PKI di seluruh daerah Indonesia, dalam nyanyi PII disebutkan, "hancur leburkan ateisme...", adalah semboyan dan sorakan anti PKI. Betapa hebatnya organisasi yang isinya hanya pelajar berani menyerang partai politik.
Di era rezim Soeharto, PII menjadi organisasi yang menolak azaz tunggal disaat berbagai organisasi di Indonesia menerima azaz tunggal tersebut.
Hingga kini proses kaderisasi PII terus berjalan, melahirkan kader-kader militan nan ideal muslim, cendikiawan dan pemimpin. Kadernya tersebar di seluruh wilayah Indonesia mulai dari Aceh sampai Papua.
Pada 4 Mei 2018 ini PII telah mencapai usianya yang ke-71, usia yang cukup tua jika dibandingkan dengan manusia. 4 mei dijadikan sebagai hari 'bangkit' PII, Harba PII. Kenapa dinamakan sebagi hari bangkit bukan hari lahir, karena disina terdapat perjuangan dan usaha dalam proses munculnya PII.
Perannya yang besar dalam sejarah seolah menjadikannya sumber pergerakan pelajar, dari dulu hingga kini perjuangannya tak henti-henti dalam membina masyarakat pelajar, siap bergrilya bersama militer untuk mempertahankan Indonesia dan aktif secara intelektual menghadapi paham yang bertentangan dengan Islam, maka tak cukup semua itu jika kehadirannya hanya diperingati sebagai hari lahir, nilai dan pengaruh yang ia berikan menyebabkan ia di harus diberi nama sebagi 'hari bangkit PII'.
Dalam refleksi PII tahun ini, mari kita merenung dan menghayati perjuangan kita dahulu kembali disamping kita mencoba untuk mengupgreat diri menjadi mata rantai perjuangan umat islam. Bisa dikatakan eksistensi kita sebagai organisasi pelajar mulai memudar, jika kita dahulu menjadi orator dalam setiap unjuk rasa kini hanya mampu berdiri bersorak ditengah kerumunan masa. Sentuhan kita tak lagi memberikan warna bagi masyarakat pelajar, memang kita selalu melakukan kaderisasi dan pembinaan tapi itu masih belum memberikan percikan pengaruh banyak.
Muslim, cendikiawan dan pemimpin adalah profil ideal kader PII. Muslim dan pemimpin mungkin ini adalah bisa bagi kader PII, namun yang cendikiawan bisa dikatakan tabu bagi kita kader PII. Membaca, menulis dan diskusi menjadi jarang seperti kebanyakan pelajar lainnya, bahkan mungkin ada organisasi lain yang lebih cakap dalam hal ini.Â