Dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari, dikisahkan ada salah seorang sahabat Nabi ﷺ yang dikenal sebagai pemabuk. Dalam suatu riwayat namanya adalah Nu'aiman, sedangkan di riwayat lain ia hanya disebut Abdullah dan dijuluki Himar. Seringkali ia dipergoki sedang menenggak khamr atau minuman keras. Saking seringnya ia ketahuan dan dihukum oleh Nabi, para sahabat lainnya merasa geram terhadap orang tersebut. Suatu hari ia dengan sialnya terciduk saat sedang mabuk. Diseretlah ia ke hadapan Baginda Nabi ﷺ. Salah seorang sahabat yang turut menyeretnya sontak mengatakan, "Laknat saja dia, wahai Rasulullah!". Ternyata Nabi ﷺ tidak lantas mengamini keinginan si penyeru tadi, namun Nabi ﷺ justru mengatakan, "Janganlah kalian melaknatnya, di balik sifat buruknya, aku tahu dia sebenarnya mencintai Allah dan RasulNya".
Apa yang disabdakan Baginda Nabi ﷺ tentu bukanlah sekadar ucapan nihil makna. Justru pembelaan ini sangat bernilai dakwah bagi umatnya, terkhusus bagi lelaki tersebut. Sebagaimana kita pahami bahwa apa yang keluar dari lisan Rasulullah ﷺ tidak lain berupa wahyu dari Allah. Maka bisa jadi pembelaan yang Nabi ﷺ lakukan adalah perintah Allah, demi mencapai maslahat yang lebih besar. Adapun Nabi kerap menghukum mereka yang meminum khamr dengan cambukan pelepah pohon kurma atau sandal, telah menjadi rahasia umum, banyak riwayat yang menyatakannya. Namun untuk melaknat sehingga orang itu mendapat murka dan azab Allah adalah sesuatu yang di luar kapasitas Baginda Nabi sendiri. Setidaknya, Nabi ﷺ sangat jarang mendoakan laknat dan keburukan bagi orang lain.
Salah satu doa Nabi ﷺ dalam melaknat suatu kaum ialah hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim, pernah suatu ketika dalam raka'at terakhir shalat Subuh, Nabi ﷺ mengangkat tangan setelah ruku' berdoa Qunut Nazilah. Doa ini dipanjatkan saat kondisi di mana perasaan hati Nabi ﷺ sudah sangat kacau, antara sedih dan marah. Sehingga yang diucapkan Nabi ﷺ dalam doa tersebut ialah laknat bagi kaum Mudhor, yang telah berlaku aniaya pada sahabat-sahabatnya.
اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِيْنَ كَسِنِيْ يُوْسُفَ
"Ya Allah, keraskanlah siksaMu bagi kaum Mudhor. Ya Allah, buatlah mereka mengalami musim kering kemarau sebagaimana yang terjadi pada zaman Yusuf."
Namun Dalam kasus si pemabuk ini agaknya Nabi ﷺ masih melihat sisi baik dari si pendosa, sehingga tidak perlu sampai menghinakannya dengan suatu laknat atau sumpah serapah. Setidaknya karena beberapa hal. Pertama, pelaku adalah seorang muslim dan bagian dari para sahabat, yang tentunya memiliki keistimewaan tesendiri. Kedua, Nabi ﷺ telah menerapkan hukuman dera baginya sebagaimana tuntunan Islam dalam menghukum peminum khamr. Ketiga, ia termasuk sosok yang dekat dengan Nabi ﷺ, seringkali membuat beliau tertawa (karena leluconnya). Keempat, karena kecintaannya terhadap Allah dan RasulNya, dan inilah yang tidak dilihat oleh para sahabat.
Di samping itu, apa yang dilakukan oleh Nabi ﷺ setidaknya memiliki sisi positif yang dapat diambil hikmahnya oleh para sahabat dan umat Islam secara umum. Pertama, seandainya Nabi ﷺ melaknat orang tersebut sehingga memosisikannya seperti pembunuh, murtad, pembangkang, dan lain sebagainya, maka tentu tidak ada kesempatan bagi si pendosa untuk bertaubat. Dalam berbagai riwayat juga tidak disebutkan si pelaku melakukan tindakan kriminal yang merugikan orang lain karena mabuknya. Jika merugikan orang lain, dalam Islam ada konsekuensi Qisas (hukuman balasan) atau bahkan Hadd (hukuman jera). Kedua, dengan sifat kasih sayang yang ditunjukkan Baginda Nabi ﷺ, bisa jadi hal ini menyebabkan ia benar-benar meninggalkan perbuatan dosa tersebut, lalu bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat. Hal inilah yang menjadi sorotan utama dakwah Islam yang menjadi rahmah bagi seluruh umat.
Semoga nilai-nilai dakwah Nabi ﷺ yang memprioritaskan kasih sayang dapat diterapkan oleh mayoritas penyeru dakwah. Sebagai umat Nabi ﷺ yang mempelajari kehidupan luhur beliau, betapa bangganya kita jika bisa mencontoh perilaku sosial Baginda Nabi ﷺ. Pun betapa mulianya agama ini jika banyak mereka yang tertarik pada Islam karena keluhuran ajarannya, terlebih karena pekerti para pemeluknya. Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H