Sebagai pionir ilmu Sosiologi, selain mengulas tentang peradaban umat manusia dari masa ke masa, Ibnu Khaldun kerap membahas tentang negara dan kepemimpinan. Dengan meletakkan prinsip-prinsip tata cara menjaga eksistensi negara, ia menekankan bahwa dinamika dan pasang-surut bernegara ialah suatu keniscayaan. Teori ini lantas ia formulasikan sebagai Teori Siklus; yaitu keadaan dimana sebuah negara mengalami kemajuan pesat pada suatu masa dan kelak akan mengalami kemunduran bahkan kehancuran di masa yang lain. Berangkat dari hal inilah Ibnu Khaldun seringkali menjabarkan tentang pentingnya unsur-unsur penopang pemerintahan.
Salah satu unsur terpenting yang ada dalam tatanan bernegara menurut Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya ialah sosok pemimpin. Penguasa memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas dan keberlangsungan negara. Salah satu hal menarik dari unsur lain pembentuk negara yaitu konsep ‘Ashabiyah. Konsep ini berperan penting dalam menentukan posisi seorang penguasa, menentukan kebijakan negara, bahkan merekrut serta mengeliminasi oknum-oknum yang manfaatnya dapat dipertimbangkan dalam keberlangsungan bernegara.
Tidak seperti al-Mawardi yang mensyaratkan banyak poin dalam memilih pemimpin, Ibnu Khaldun lebih longgar dalam menetapkan persyaratan seorang pemimpin negara. Seakan ia ingin mengungkapkan bahwa sosok pemimpin yang ideal secara kualitas tetaplah diperlukan, namun unsur-unsur lain yang mendukung sebuah kepemimpinan tak bisa ditinggalkan. Negara ialah suatu entitas yang terdiri dari banyak komponen. Negara ideal tidak menampakkan fenomena penguasa-sentris. Semua instrumen dalam membangun dan mempertahankan eksistensi negara berada pada takaran urgensi yang sama.
Pun mekanisme pemilihan pemimpin negara tidak disebutkan secara terperinci dalam Muqaddimah. Namun hal ini tidak dilupakannya secara total; sebagaimana al-Mawardi, Ibnu Khaldun juga mensyaratkan adanya Ahlul-Halli wal-‘Aqdi dalam memilih penguasa, yang mana kompetensinya sangat diperhitungkan dengan baik. Dalam pembahasan lain, ia merumuskan tipologi negara yang terbagi menjadi dua. Pertama, negara yang berciri kekuasaan alamiyah (al-Mulk at-Thabi’i) dimana sistem yang berjalan menganut kekuasaan otoriter, kesewenang-wenangan dari penguasa sesuai kehendak hatinya. Kedua, ciri kekuasaan politik (al-Mulk as-Siyasi) yang sistemnya diatur hukum-hukum kenegaraan yang tidak mengintimidasi suatu kaum, sebagaimana yang dianut banyak negara dunia dewasa ini.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat kami simpulkan bahwa secara teori bernegara Ibnu Khaldun lebih condong ke arah proses stabilisasi dan menjaga keberlangsungan negara. Hal-hal yang ia tekankan berupa konsep dan teori agar suatu negara dapat berjalan dengan baik. Ia juga banyak meletakkan batu pertama dalam pembahasan tipologi negara yang kelak dapat dijadikan rujukan sejarah, seperti jenis-jenis politik bernegara, ciri-ciri dinamika negara, sistem pengikat yang dapat mempengaruhi stabilitas negara, dan lain-lain.
Demikianlah paparan studi komparatif kami tentang paradigma politik dari dua ilmuwan muslim yang dikenal secara global dari masa ke masa; al-Mawardi dan Ibnu Khaldun. Meskipun banyak hal yang kami lewatkan dalam penyajian materi, namun gambaran di atas setidaknya dapat memperjelas dikotomi antara dua kecondongan pemikiran; apakah lebih ke arah kekuasaan (pemimpin) atau ke arah urgensi bernegara. Wallahu a’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H