Mohon tunggu...
Lafziatul Hilmi
Lafziatul Hilmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pengajar, mahasiswa, penerjemah

sedang dalam proses pengembangan diri..

Selanjutnya

Tutup

Film

Film Animasi Disney-Pixar: Realitas Sosial atau Mitos Keluarga Ideal?

2 Desember 2024   10:15 Diperbarui: 2 Desember 2024   10:53 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

           Meningkatnya konsumsi media digital pada anak-anak maupun orang tua memberikan ruang kepada media populer untuk hadir sebagai penyedia informasi di setiap aspek kehidupan. Film, sebagai salah satu media yang mudah diakses, seringkali dijadikan model yang menghadirkan realitas kehidupan dan dijadikan acuan dalam menjalankan aktivitas. Misalnya, banyak orang yang beranggapan bahwa film animasi bertema keluarga, dapat memberikan contoh bagaimana seseorang dapat mengelola konflik keluarga yang terjadi, sehingga tayangan yang ditampilkan seolah-olah sebuah realitas yang dapat diikuti oleh penonton. Dalam kaitannya dengan gambaran pola asuh, film animasi Disney menjadi acuan uama film keluarga yang secara aktif membentuk citra sebagai film yang berorientasi keluarga dan kepolosan anak-anak (Giroux & Pollock dalam Zurcher et.al, 2018). 

              Beberapa film animasi Disney-Pixar yang bertema keluarga mengangkat cerita tentang masa transisi dimana tokoh utama remaja sedang berproses menuju kedewasaan. Tokoh remaja ini biasanya menghadapi tantangan dan membutuhkan perhatian serta dukungan emosional dalam melalui masa-masa tersebut (Holcomb et.al, 2015). Keterlibatan orang tua dalam masa ini sangatlah penting untuk diharapkan memberikan dukungan dan arahan, terutama peran ibu yang dianggap sebagian penanggungjawab utama dalam pengasuhan intensif. Menurut Baumrind dalam Zurcher et. al. (2019) penggambaran pola asuh orang tua dapat dikategorikan menjadi otoriter, otoritatif, permisif,dan tidak terlibat. Gaya pola asuh yang ditampilkan akhirnya akan menjadi representasi penokohan ibu dalam menghadapi remaja yang sedang melewati masa-masa transisi tersebut.

              Pada film Brave (2012), Merida, putri sulung Raja Fergus dan Ratu Elinor, dipersiapkan untuk menjadi calon ratu. Putri Merida belum siap untuk melakukan semua itu karena apa yang dia sukai sangat bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh Ratu Elinor, seperti memanah dan berkuda. Sebailknya, Ratu Elinor, sebagai seorang ibu, memegang tanggung jawab utama untuk mempersiapkan Putri Merida dengan memberikan pelajaran, pengetahuan, hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang ratu untuk mencapai sebuah kesempurnaan sehingga tidak boleh ada kekurangan dan kesalahan yang dilakukan selama Putri Merida belajar dan berlatih menjadi calon ratu. Puncak masalahnya terjadi disaat Putri Merida memberontak, kabur dari istana dan meminta seorang penyihir untuk merubah takdirnya. Usaha tersebut menyebabkan ratu Elinor berubah menjadi seekor beruang. Putri Merida harus memperbaiki keadaan sebelum sang ibu benar-benar tidak bisa kembali menjadi manusia. Dengan kerjasama dan pengertian antara Putri Merida dan Ratu Elinor dalam bentuk beruang, akhirnya kutukan tersebut bisa dicabut dan Rau Elinor kembali menjadi manusia. Setelah melalui masa sulit bersama, Ratu Elinor mengubah sudut pandang dan pola komunikasinya terhadap Putri Merida. Sehingga akhirnya kehidupan mereka kembali bahagia.

              Di satu sisi, kisah pada film Brave terlihat sangat ideal dimana cerita dikonstruksi dengan awal bahwa Putri Merida merupakan anak yang baik, lalu mengalami konflik dengan ibu nya dan menyelesaikan masalah dan berakhir bahagia. Namun di sisi lain, realitas yang ditampilkan tidak selalu merupakan hal yang dapat ditemukan dalam kehidupan nyata. Barthes dalam Hoed (2014) mengemukakan konsep mitos yaitu tuturan atau pesan yang diyakini kebenarannya tetapi tidak dapat dibuktikan. Mitos merupakan suatu cara dalam memberikan arti dalam komunikasi dan bukan didefinisikan oleh objek pesan tersbut. Pola pengasuhan Ratu Elinor dalam film Brave dapat membawa mitos tertentu tentang bagaimana membesarkan dan mengasuh anak perempuan. Faiz (2016) dalam presentasinya menjelaskan bahwa Barthes lebih lanjut memperkenalkan konsep denotasi (relasi primer) dan konotasi (relasi sekunder) dalam pemaknaan suatu tanda. Denotasi menjelaskan hubungan penanda dan pertanda yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti, sedangkan konotasi merupakan hubungan penanda dan petanda yang menghasilkan makna yang implisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Dengan adanya fenomenda tanda dan konotasi inilah yang menjadikan penciptaan mitos.

             Mitos pertama yang dapat ditangkap adalah ibu yang tegas, disiplin, dan teratur cenderung dianggap sebagai orang tua yang memiliki pola asuh yang otoriter, yaitu tipe orang tua yang menuntut kepatuhan anak tanpa syarat, dan konsisten mengontrol apa yang dilakukan anak. Apabila dilihat dalam hubungan relasi primer (denotasi), Ratu Elinor (dalam film ini) berusaha menunjukkan kepada Putri Merida bagaimana menjadi calon ratu yang baik. Apa yang disampaikan dan dilakukan oleh Ratu Elinor berdasarkan pengalaman yang telah dia dapatkan, karena pada masa Ratu Elinor menjadi calon ratu hal-hal tersebut tidak pernah disampaikan oleh orang tuanya. Ratu Elinor berusaha memperlihatkan bagaimana seorang ratu berbicara di depan umum, bagaimana ratu tertawa, pengetahuan apa yang harus dimiliki oleh seorang ratu, kedisiplinan, keahlian serta kebersihan dan keteraturan untuk menjadi sosok yang sempurna. Namun, dalam relasi sekunder peran Ratu Elinor dimaknai sebagai ibu yang keras dan memaksa Putri Merida untuk patuh dengan semua yang dikatakannya. Tidak adanya ruang untuk bernegosiasi dan berdiskusi dengan Putri Merida dalam mempersiapkan diri sebagai calon ratu. Oleh karena itu, pola asuh yang ditampilkan oleh Ratu Elinor lebih mengarah kepada gaya otoriter.

              Berikutnya, mitos terkait Putri Merida yaitu seorang anak memiliki hak untuk melakukan hal yang disukai dalam batas yang wajar dan tidak harus dipaksakan melakukan keinginan orang tua. Dalam relasi primer (Denotasi), Putri Merida menampilkan keinginan untuk dilibatkan dalam pengambilan keputusan terhadap dirinya, diajak berdiskusi dan didukung dalam melakukan hal-hal yang disukai. Sebaliknya, dalam relasi sekunder (konotasi), Putri Merida digambarkan sebagai anak gadis yang penampilannya berantakan karena rambutnya yang bergelombang dan tidak diikat, serta karena hobinya memanah yang pada masa itu dianggap tidak sesuai dengan kodratnya sebagai perempuan. Tindakan yang dilakukan Putri Merida saat pertandingan dan saat meminta penyihir mengubah takdirnya menyiratkan bahwa Putri Merida merupakan remaja pemberontak, tidak mau diatur dan tidak mau mendengarkan orang tuanya.

              Pada akhirnya, mitos tentang Ratu Elinor dan Putri Merida berubah seiring penyelesaian klimaks konflik yang ada. Perubahan Ratu Elinor menjadi beruang dianggap menjadi simbol transformasi ibu yang memahami anaknya, dan juga menyiratkan pentingnya fleksibilitas dalam pola asuh sehingga tidak ada lagi kritik terkait pola asuh otoriter yang tidak memberikan ruang untuk anak mengekspresikan diri. Di sisi lain, Putri Merida yang dianggap sebagai anak yang pemberontak pada akhirnya direpresentasikan menjadi anak yang mandiri tapi tetap terikat dengan nilai-nilai keluarga. Walaupun tindakannya dalam menolak perjodohan tidak dapat dimaklumi, dia tidak sepenuhnya meninggalkan tanggungjawabnya untuk melepaskan Ratu Elinor dan adik-adiknya dari kutukan. Narasi ini terlihat seperti menyederhanakan realitas sosial, dimana di dunia nyata konflik yang terjadi tidak selalu berakhir ideal.

              Brave adalah contoh menarik bagaimana Disney-Pixar mencoba menjembatani realitas sosial dan mitos keluarga ideal. Film ini menyajikan narasi yang relevan dan syarat mitos yang membentuk pandangan masyarakat tentang keluarga, terutama hubungan ibu dan anak dalam keluarga. Analisis semiotika Roland Barthes menunjukkan bahwa dibalik cerita sederhana tentang hubungan ibu dan anak, terdapat simbol-simbol yang merefleksikan dinamika kekuasaan, budaya dan nilai-nilai kehidupan.

Sumber bacaan:

Brave (2012) https://www.imdb.com/title/tt1217209/plotsummary/?ref_=tt_ov_pl

Faiz, F. (2016). Semiotika: Roland Barthes. Dipresentasikan dalam acara “Ngaji Filsafat” dan diakses melalui channel YouTube: MJS Channel pada tautan berikut https://www.youtube.com/watch?v=5QUJBjDgviI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun