Tidak ada kisah percintaan paling dilematis, menggelisahkan, dan sarat derita selain kisah asmara seorang manusia dengan sejuntai arwah. Segetir apapun sengsara yang dialami dua sejoli berkebangsaan manusia, tak akan pernah melampaui puncak nestapa yang dikecap oleh tali percintaan manusia dengan makhluk bernama hantu.
Tu-han-tu-han-tu. Terdapat persamaan antara hantu (ghost) dengan Tuhan (god) sebagai wujud spiritual (soul). Sehingga barangsiapa ingin menjalin tali cinta dengan-Nya seharusnya bersiap diri untuk menghadapi deretan prahara sebagai eksamen kesetiaan dan sakramentalia pengorbanan atas nama cinta.
Kisah cinta manusia dengan hantu dapat kita temukan dalam novel A Girl Who Loves A Ghost ; antara Leeta dan Yuto. Leeta atau Al adalah panggilan dari Aleeta Jones. Anak pertama dari dua blasteran bersaudara. Ayahnya Oliver Jones seorang ekspatriat asli Amerika, sedangkan ibunya orang Indonesia yang jika diurut-urut silsilah keluarganya sampai pada Qi Yue, seorang cenayang tersohor dari daratan Cina.
Selain tenggelam dalam hiruk pikuk kesibukan sebagai seorang mahasiswi di sebuah universitas terkemuka di Jakarta, Leeta juga harus membagi waktu mengawal pendidikan adiknya, Chlea Jones dan mengurus rumah semenjak ditinggal kedua orang tuanya bisnis di luar negeri.
Perjalanan cerita yang menyedot energi penasaran ini berawal dari kebiasaan Leeta membunuh waktu dengan membaca koran. Suatu ketika headline koran nasional yang dibelinya mengabarkan berita terbunuhnya seorang direktur pemasaran perusahaan ekspor-impor alat berat di Bandung, Nakano Yuto (23 tahun).
Bakat alam berupa kemampuan merasa kehadiran para hantu yang didapatkannya secara genetik dari moyangnya dan tradisi kirim doa buat roh-roh yang kurang beruntung, seolah menjadi awan kelabu yang menjadi matalamat menyembulnya bianglala peristiwa dan tragedi dalam novel ini. Kidung doa Leeta mengundang roh penasaran Yuto terhempas ke sisinya. Yuto meyakini hanya Leeta yang sanggup menolongnya untuk mengakhiri status sebagai arwah penasaran. Yaitu dengan menemukan siapa sebenarnya otak pembunuhan terhadap dirinya dan mencari tahu kabur kemanakah Hiro, saudara kembarnya, setelah tertangkap basah termakan rayuan Melissa, tunangan Yuto.
All start is difficult. Penulis dalam hal ini menunjukkan kelihaiannya dalam mendalangi pemanasan suatu cerita. Awal dari sebuah perkenalan yang penuh kepanikan, selisih paham, shock culture, dan dialog-dialog penuh pertikaian kata lainnya.
"Aku melotot pada sesosok laki-laki yang sekarang sedang berjalan mondar-mandir di depan kelas. Ada apa ini? Apakah hanya aku yang menyadari kehadirannya? Bagaimana mungkin Senna tidak melihatnya? Dia berada di sana dan bergerak seperti setrikaan. Bagaimana mungkin tidak ada yang merasa terganggu?" (hal. 19)
Membaca novel ini serasa menyaksikan layar bioskop. Penulis mampu menghadirkan imajinasi di benak pembaca tentang setiap karakter tokohnya, ruang kejadian, dan suasana yang bersenyawa satu sama lain. Seakan-akan pembaca sudah pernah mengenal siapa Leeta, Yuto, Chle, Ben, Senna, atau Rizal sekalipun.