Krisis politik di Kalimantan Barat pada tahun 1950 mencerminkan ketegangan dan dinamika dalam proses integrasi daerah tersebut ke dalam Republik Indonesia. Perdebatan seputar bentuk negara federalis dan unitaris semakin memanas menjelang Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Sultan Hamid II, Kepala DIKB, dan Ketua BFO, memainkan peran kunci dalam lobi politik terhadap pemimpin republik, mencapai kesepakatan untuk membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan demokrasi dan federalisme.
Organisasi GAPI di Pontianak mendapatkan suntikan tenaga baru pasca perombakan kepengurusan dan pembebasan tawanan republik setelah Konferensi Inter Indonesia di Yogyakarta. GAPI gencar mendesak pemerintah DIKB untuk mengizinkan pengibaran bendera Merah Putih, sebagai tanda dukungan terhadap kesatuan Indonesia. Setelah berbagai perundingan, pada Oktober 1949, bendera Merah Putih diizinkan berkibar tanpa syarat di Kalimantan Barat.
Di tengah perundingan KMB di Den Haag, Sultan Hamid II tetap menyuarakan perlunya membawa Indonesia ke bentuk negara federal. Namun, pada November 1949, KMB menghasilkan keputusan mengakui RIS sebagai negara merdeka. Di Kalimantan Barat, KNKB berdiri sebagai organisasi yang mendukung unitarisme, berjuang untuk mengintegrasikan DIKB ke dalam Republik Indonesia.
Pada tahun 1950, krisis politik memuncak ketika pasukan TNI sebagai unsur inti APRIS mendarat di Pontianak. Sultan Hamid II menolak keras kedatangan TNI, menganggap keberadaan eks-KNIL dan Tentara Federal sudah cukup untuk menjaga keamanan. Desakan rakyat untuk bergabung dengan RI semakin kuat, dan KNKB melakukan pemogokan massal yang menyebabkan lumpuhnya sektor ekonomi dan kesulitan mendapatkan bahan pokok.
Pertemuan Mohammad Hatta dengan para tokoh politik di Pontianak pada Januari 1950 tidak berhasil meredakan ketegangan. Sultan Hamid II akhirnya meninggalkan Pontianak, dan pasukan TNI diterjunkan untuk menjaga keamanan. Meskipun terjadi aksi pemogokan dan penangkapan tokoh-tokoh republikan, pemerintah pusat tetap berupaya menyelesaikan krisis politik tersebut.
Upaya-upaya diplomasi dan negosiasi dilakukan oleh pemerintah pusat untuk meredakan ketegangan di Kalimantan Barat. Pada saat yang sama, terdapat tekanan dari berbagai elemen masyarakat yang mendukung integrasi Kalimantan Barat ke dalam Republik Indonesia. Dampak dari krisis politik tersebut terasa luas, terutama dalam aspek ekonomi dan ketidakstabilan politik di daerah tersebut.
Pada akhirnya, krisis politik di Kalimantan Barat dapat diatasi melalui kombinasi upaya diplomasi, tindakan tegas pemerintah pusat, dan dukungan dari berbagai elemen masyarakat yang ingin bergabung dengan Republik Indonesia. Krisis tersebut menjadi bagian dari sejarah integrasi daerah-daerah di Indonesia ke dalam kesatuan negara yang lebih besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H