Di dunia akademik, isu plagiarisme bukanlah hal yang baru. Plagiarisme telah menjadi ancaman bagi integritas ilmu pengetahuan. Potret plagiarisme di Indonesia bukan masalah baru yang terjadi belakangan ini. Kasus-kasus plagiarisme di kalangan akademis adalah gejala krisis moral dan etika kaum intelektual. Hal tersebut juga menjadi renungan bahwa tingkat intelegensi, jabatan dan pangkat tidak dapat mencerminkan tingginya nilai moral dan etika seseorang. Dari sudut pandang etika liberal, plagiarisme merupakan sebuah perilaku yang melanggar prinsip-prinsip keadilan. Prinsip-prinsip tersebut antara lain original acquisition of holding (prinsip pemilikan awal); principle of justice in transfer (prinsip keadilan pengalihan); dan principle of rectification of injustice in holdings (prinsip menghilangkan ketidakadilan pemilikan). Oleh sebab itu, plagiarisme dianggap perilaku tidak beretika karena melanggar prinsip prinsip keadilan dan cara terbaik untuk memiliki etika dalam menulis yaitu dengan melakukan sitasi.
Seiring perkembangan teknologi, untuk melakukan sitasi atau kutipan sudah banyak inovasi yang membantu penulis dan peneliti agar lebih efektif dan efesien dalam menulis dan meneliti. Inovasi tersebut terwujud dalam bentuk aplikasi atau perangkat lunak. Era digital membuat penulis dan peneliti jadi lebih mudah saat melakukan sitasi, misalnya dengan alat bantu pengelola referensi atau reference manager. Sebelum adanya inovasi tersebut, sitasi dilakukan secara manual. Hal tersebut menjadi sulit karena banyaknya aturan sitasi yang harus diingat dalam satu jenis gaya atau style. Gaya APA, Chicago, Harvard, IEEE, dan lain sebagainya memiliki aturan yang berbeda dalam hal pengutipan. Tentunya akan sulit jika harus mengingat aturan-aturan dari berbagai style tersebut. Oleh karena itu, dengan adanya inovasi reference manager para penulis dan peneliti menjadi sangat terbantu. Namun perkembangan teknologi tidak hanya memberikan kemudahan dalam melakukan sitasi, melainkan juga dapat disalahgunakan sebagai jalan pintas membuat sebuah karya.
Misalnya, pelajar dan mahasiswa yang akan menyelesaikan tugas, hanya dengan melakukan penelusuran di situs mesin pencarian internet, dalam sekejap akan dapat melakukan salin-tempel (copy-paste). Sebelum adanya perkembangan teknologi, para pelajar dan mahasiswa mau tidak mau harus membaca buku atau pergi ke perpustakan untuk mencari jawaban yang akan disadurnya. Meskipun tidak menutup kemungkinan, sebelum berkembangnya teknologi plagiarisme memang sudah ada, namun perkembangannya tidak secepat jika ada bantuan teknologi.
Contoh nyata dari dampak negatif plagiarisme terjadi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Kasus ini bermula dari media sosial, di mana laporan mengenai plagiarisme yang dilakukan oleh seorang mahasiswi bernama Safrina menjadi viral. Safrina, yang merupakan mahasiswi jurusan Manajemen angkatan 2023, terlibat dalam plagiarisme tugas mata kuliah mingguan. Wakil Dekan 1 Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FEB Unair, Wisnu Wibowo, menyatakan bahwa fakultas segera mengambil langkah cepat setelah mengetahui isu ini dari media sosial.
"Kami melakukan klarifikasi kepada dua orang yang terlibat dalam kasus ini," kata Wisnu Wibowo pada Sabtu pagi, 30 Maret 2024. Ia menjelaskan bahwa fakultas tidak menunggu laporan resmi karena perbincangan di media sosial sudah berkembang dan tidak produktif.
Setelah melakukan pemanggilan terhadap Safrina dan mahasiswi lain yang melaporkan kasus ini, fakultas mendalami bentuk pelanggaran yang terjadi. Hasil klarifikasi menunjukkan bahwa Safrina benar-benar melakukan plagiarisme dalam laporan tugas mata kuliah mingguan. Fakultas bertindak cepat dengan memanggil Safrina dan mahasiswi lainnya yang melaporkan kejadian tersebut. Tindakan ini terungkap ketika tugas kelompok yang membuat paper tersebut hanya mengganti nama tanpa mengubah konten yang asli.Â
Hasil klarifikasi mengonfirmasi adanya plagiarisme dalam laporan tugas mingguan Safrina. Menurut Peraturan Rektor Unair Nomor 34 Tahun 2019, plagiarisme adalah penggunaan kalimat, data, atau karya orang lain sebagai karya sendiri tanpa menyebutkan sumber aslinya. FEB Unair memiliki sistem untuk mencegah plagiarisme di setiap jenjang pendidikan, menggunakan software berbayar Turnitin untuk mendeteksi kesamaan dengan batas toleransi tertentu (30% untuk S1, 25% untuk S2, dan 20% untuk S3).
Setelah memastikan bahwa plagiarisme benar terjadi, Safrina diberikan sanksi sesuai peraturan akademik yang berlaku. Dalam keterangan tertulis yang diberikan oleh Koordinator Pusat Informasi dan Humas FEB Unair, Nur Aini Hidayati, dinyatakan bahwa kasus ini telah selesai dengan diberikannya sanksi kepada Safrina dan seluruh anggota kelompoknya. Sanksi yang dijatuhkan adalah digugurkannya nilai untuk mata kuliah di mana plagiarisme terjadi, dan seluruh anggota kelompok diharuskan mengulang mata kuliah tersebut. "Semua bertanggung jawab," tegas Wisnu, menekankan pentingnya tanggung jawab kolektif dalam tugas kelompok.
FEB Unair menegaskan komitmennya untuk menjunjung tinggi etika akademik dan menegakkan nilai-nilai "excellence with morality." Wisnu Wibowo menambahkan bahwa plagiarisme bukanlah hal yang baru dan selalu ada, namun fakultas berusaha keras untuk mencegah dan menindak tegas setiap pelanggaran. Dengan adanya sistem deteksi plagiarisme yang ketat dan sanksi yang tegas, diharapkan dapat menurunkan angka pelanggaran akademik dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya etika dalam penulisan dan penelitian di kalangan mahasiswa.
Pencegahan plagiarisme menjadi tanggung jawab semua pihak. Bagi para pengelola jurnal sangat penting untuk menjelaskan kebijakan dan aturan mengenai plagiarisme di halaman jurnal onlin. Selain itu, pastikan penulis dapat dengan mudah menjangkau informasi mengenai isu ini. Pengetahuan mengenai batasan plagiaris me harus dipahami dengan baik tidak hanya oleh editor, reviewer, dan penulis jurnal. Di institusi pendidikan, pence gahan plagiarisme dapat dilakukan dengan menumbuhkan integritas ilmiah, sosialisasi plagiarisme, membuat pedoman praktis, dan optimalisasi peran tim kaji etik. Ini artinya sivitas akademik (mahasiswa dan dosen) serta para pembuat kebijakan di institusi pendidikan juga memiliki peran penting untuk memerangi plagiarisme.
Untuk memerangi plagiarisme secara efektif, sangat penting bagi institusi pendidikan untuk terus mengedukasi mahasiswa dan dosen tentang etika penulisan yang benar dan bahaya plagiarisme. Pengelola jurnal harus secara jelas menyatakan kebijakan anti-plagiarisme dan menyediakan akses mudah terhadap panduan sitasi yang benar. Selain itu, penggunaan teknologi untuk mendeteksi plagiarisme harus dioptimalkan, dan sanksi yang tegas harus diberlakukan untuk setiap pelanggaran. Kolaborasi antara institusi, dosen, dan mahasiswa dalam mempromosikan integritas akademik akan membantu menjaga kualitas dan kredibilitas ilmu pengetahuan.