Mohon tunggu...
Dorratul Hijaziyah
Dorratul Hijaziyah Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Farmasi FMIPA UNLAM Banjarbaru (2009)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rona Kegetiran

7 Juni 2011   01:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:47 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Panas yang begitu menyengat bagi setiap orang, tidak mengendurkan semangat bapak itu untuk menyusuri jalanan. Baju yang dipakainya terlihat sangat lusuh dan kusam, bahkan sudah terlihat tambalan di beberapa bagian. Keringat yang mengucur deras di tubuhnya, membuat baju kaos birunya tampak basah dari luar. Dengan celana hitam dan topi bundar yang tak kalah lusuh, ia berjalan menyusuri kota Banjarmasin di puncak siang itu. Tampak rambutnya sudah mulai memutih di balik topinya. Polusi udara dan panas matahari yang diarunginya setiap hari, jelas membuat wajahnya tampak lebih tua dari umurnya yang sebenarnya.

Pemandangan yang memilukan itu kulihat dari depot di pinggir jalan. Sambil menyedot es kelapa yang ada didepanku, tatapanku tak beranjak dari gerak-gerik bapak itu. Dia berjalan sambil membawa karung besar yang dipanggul di bahunya. Beratnya karung membuat badannya sedikit membungkuk. Hatiku miris melihatnya, bapak itu adalah salah satu dari sekian banyak orang yang kurang beruntung di muka bumi ini. Kuambil buku kecil dan pulpen dari dalam tas, hobiku menulis rasanya harus disalurkan saat itu. Sejenak aku terdiam, sesaat kemudian langsung kugoreskan kata demi kata yang terbalut menjadi sebuah puisi di atas buku kecil itu.

Tanganku berhenti menulis, aku kembali terdiam sejenak dan kemudian dengan mata berbinar kutuliskan judul untuk puisi itu, “Rona Kegetiran”. Langsung kubereskan buku dan pulpen itu ke dalam tas. Dengan sedikit buru-buru, kubayar es kelapa tadi dan langsung ke arah parkiran untuk mengambil motorku. Aku langsung menjalankan motorku menyusul bapak itu. Tentu saja aku dapat dengan mudah menyusulnya karena bapak itu hanya berjalan kaki. Bapak itu sedang memunguti sampah di tempat penampungan sampah. Aku pun berhenti di dekat bapak itu. Sambil tersenyum, bapak itu berbicara kepadaku,

“Lempar saja Nak sampahnya.” Ternyata bapak itu mengira aku ingin membuang sampah.

“Tidak Pak, saya ke sini karena ingin memberikan ini kepada Bapak,” sahutku sambil memberikan selembar uang senilai dua puluh ribuan. Bapak itu melongo, namun sejurus kemudian senyum mengembang di bibirnya.

Alhamdulillah, terima kasih Nak.” Ada tetes bening di sudut mata Bapak itu.

“Sama-sama Pak, semoga itu cukup untuk makan Bapak dan keluarga hari ini.”

“Ini sudah lebih dari cukup Nak, bahkan penghasilan Bapak selama 4 hari saja tidak sampai sebanyak ini. Bapak bersyukur karena masih ada pemuda sepertimu. Seandainya anak bapak juga sepertimu,” ucapnya sambil mengusap air matanya.

“Memangnya ada apa dengan anak Bapak?” rasa penasaranku keluar.

“Dia tidak bisa menerima keadaan keluarga kami yang serba kekurangan. Dia ingin seperti teman-temannya yang hidup layak dan selalu menuntut kepada orang tua,” wajahnya terlihat begitu sedih saat mengucapkan hal itu. Aku jadi sedikit tidak enak karena telah lancang bertanya demikian.

“Saya turut prihatin dengan sikap anak Bapak, semoga Bapak senantiasa diberikan ketabahan dan semoga Allah menyadarkan anak Bapak itu.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun