Pengungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan atas keberhasilan panen dapat diwujudkan dalam berbagai kegiatan. Di Gunung Papan, Desa Tanjung Batu Kecil, Kecamatan Buru, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau, acara syukuran tahunan yang unik diprakarsai oleh pengurus sebuah kelenteng setempat (Kelenteng Yuan Tian Shang Di) dan digelar setiap tahun pada tanggal 1 bulan 11 berdasarkan kalender China.
Pada tahun 2019, acara yang dalam bahasa Teochew disebut "Sia Kang" ini dilaksanakan pada hari Selasa, 26 November 2019. Pertama, umat bersembahyang di kelenteng dengan membakar dupa (hio), dan lilin. Berbagai sajian juga sudah ditata rapi di atas meja altar, meliputi buah-buahan, kue, Â sa she (atau tiga hewan kurban yang mewakili tiga unsur, yakni udara, darat, dan air), serta uang kertas sembahyang.
Setelah dupa dan lilin hampir habis terbakar, umat mengambil tumpukan uang-uang kertas sembahyang, lalu mengayunkan tiga kali di depan meja altar (sebagai tanda pamit mengambil barang sehabis dipersembahkan di meja altar). Kemudian, uang-uang kertas sembahyang tersebut dipersembahkan dengan dibakar dalam bangunan yang khusus untuk pembakaran uang kertas. Semerbak dupa wangi dan kobaran api yang mengubah kertas menjadi abu merupakan pengindraan yang selalu ada di kelenteng terutama saat hari-hari sembahyang atau perayaan.
Sekitar jam 1 siang, sepotong kardus dibentangkan pada ujung pelabuhan sebagai alas untuk bersembahyang. Buah, huatkue, berbagai makanan dan minuman, serta tumpukan uang kertas sembahyang ditata di atas kardus. Setelah pengurus kelenteng menyalakan lilin dan dupa, para umat bergiliran untuk berdoa menghadap ke laut menggunakan masing-masing tiga dupa yang dibagikan oleh pengurus kelenteng. Sambil menunggu dupa dan lilin habis terbakar, para hadirin dipersilahkan untuk menyantap makan siang yang telah disediakan.Â
Lebih banyak hadirin di pinggir pelabuhan ini. Umat yang bersembahyang juga lebih banyak dibandingkan yang bersembahyang di kelenteng tadi. Seluruh masyarakat tanpa memandang suku dan agama diperbolehkan untuk memeriahkan prosesi ini. Beberapa warga dengan kostum siap cebur sudah bersiaga dekat ujung pelabuhan yang tanpa pembatas.
Selain dapat membawa pulang unggas yang berhasil diselamatkan dari laut, adapula dermawan yang memberikan apresiasi tambahan dengan membagikan angpao (amplop merah berisi uang) kepada peserta yang berhasil menangkap unggas-unggas tersebut. Nilai angpao menurun dari ayam atau bebek pertama hingga ayam atau bebek ke tiga.
Yang hadir hari itu meliputi warga setempat, dan pulau sekitar, putra daerah yang berkunjung kembali ke tanah kelahiran, dan hanya segelintir pengunjung yang sengaja datang untuk menyaksikan acara syukuran tahunan yang istimewa ini. Tidak tersedianya kapal penumpang agar pengunjung dapat pulang hari dan kurang tersebarnya informasi acara bisa jadi merupakan alasan kurangnya pengunjung dari luar Gunung Papan.
Semoga panen darat dan laut masyarakat Gunung Papan terus berlimpah di masa depan, sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memajukan daerah yang tercinta.
Catatan:
Pernyataan "Tidak ada satu pun binatang yang dilukai dalam acara ini" tampaknya tidak berlaku dalam acara ini.
Selain penebaran uang kertas sembahyang ke laut saat awal prosesi, tidak adanya tong sampah yang disediakan di area pelabuhan dan kebiasaan masyarakat membuat sampah yang kurang tepat juga menyebabkan semua hadirin membuang sampah sembarangan ke laut (termasuk alat makan sekali pakai (piring sterofoam, sendok plastik, garpu plastik), tisu, bekas makanan dan minuman hari itu).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H