Mohon tunggu...
Zhiang Zie Yie
Zhiang Zie Yie Mohon Tunggu... Freelancer - blogger

Lahir Di Tulungagung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Terlarang

30 Mei 2014   03:07 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:58 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku masih termangu di tempatku berpijak. Di bawah gedung raksasa yang menjulang tinggi, hingga hampir menembus tapal batas pekatnya azura di atas sana. Untuk kesekian kalinya azura nampak murung ketika aku menjejakkan kaki di tempat ini. Tampaknya, azura tak sedang bersahabat menyambut kedatanganku. Pekat legamnya menambah suram suasana hati yang tengah dirundung nestapa. Tak ada lagi rona kedamaian ataupun keteduhan yang kulihat. Berkali-kali kutatap kilatan halilintar yang sekelebat merambat. Bergemuruh walau sesaat. Seolah, fenomena alam siang ini mewakili rasa pedih di ulu hati. Menahan luka atas kepergian wanita yang teramat sangat kukasihi, satu bulan lalu. Kini, semua nampak berbeda, terasa hampa kala keputusan itu diketuknya. Sosok yang biasanya lembut berubah menjadi seorang hakim yang tegas dan menakutkan bagi kehidupanku. Kebahagiaan yang sempat kutanam dicabutnya dengan paksa. Wanita itu sungguh tak punya perasaan. Jiwa ini serasa tercabik-cabik menerima semua perlakuan itu. Tapi apalah daya, takdir ini tak bisa kutolak. Bahkan, untuk menjadi orang yang tepat baginya pun aku tak mampu. Dia tak mungkin bisa menjadi rusukku. Garis hidup ini menentang keinginan dan harapanku. Tuhan tak pernah setuju tentang jalan yang kupilih. Mencintai orang yang tak seharusnya kucintai. Berkali-kali, bisik lirih sang bayu mencoba mengusirku dengan kedinginannya. Menyuruhku pergi melepas kenangan yang sempat bersemayam dilubuk hati, di tempat ini. Hembusannya seolah mencemooh kedunguanku yang terlalu banyak memikirkan wanita yang telah menancapkan belati kata itu di jantungku. Apalah daya, aku tak bisa menerima semua perlakuan ini terhadapku. Semua perjalanan waktu yang aku lalui bersamanya sungguh tak mudah untuk dilupakan. Kebahagiaan sesaat yang sempat menyapaku terlalu dalam tersemat di memori. Bayangan itu, seolah datang dan pergi sesuka hati. Dengan syahdunya menyusup ke pembuluh nadi. Menjalar, menggerogoti diri. Mengoyak raga. Menghujam sukma yang tengah kukuatkan agar tak terjatuh kelembah yang sama untuk kesekian kalian. Dia, wanitaku, pilihan terakhir yang pernah kumiliki. *** ''Andra...!'' seru seorang wanita yang sedari tadi kutunggu. Nafasnya tersengal, ketika dia berlari menghampiriku. Butiran peluh bercucuran menghiasi wajahnya yang oriental. Aku pun tersenyum menatap tingkah polahnya yang masih seperti anak kecil. Wanita dihadapanku ini memang selalu terlihat sempurna di mataku. Walau sejatinya, dia tak akan pernah menjadi sempurna dihidupku. ''Minumlah,'' kusodorkan sebotol air mineral yang langsung diraih dan diteguknya. Kekeringan telah mendera kerongkongannya. Dan secepat kilat air itupun habis. ''Huh, maaf telat. Kerjaanku cukup banyak hari ini,'' katanya yang kujawab dengan sebuah anggukan. Aku telah cukup mengerti tentang kebiasaan terlambatnya itu. Bobo, wanita paruh baya yang dijaganya itu selalu menambah daftar pekerjaan dikala libur. ''Ada yang ingin aku omongin sama kamu, Ndra.'' Wanita ini menarikku ke tengah zebra cross. Pembatas antara jalur kanan dan kiri. Tepat di tengahnya kami berhenti. Hilir mudik kendaraan yang melintas tak mumbuatnya memilih untuk maju dan melangkahkan kakinya. ''Apa yang ingin kamu katakan ?'' kualihkan pandanganku sejenak menatapnya. Wanita ini masih tetap membisu. Meneguk ludahnya, lalu menatapku. ''Aku rujuk dengan mas Hilman,'' katanya dengan pasti. Seketika, mataku mebulat mendengar ucapannya. ''Aku akan pulang ke Indonesia dalan waktu dekat.  Semoga perpisahan ini menjadi pilihan terbaik yang pernah aku buat untuk kita, Ndra,'' paparnya lagi. Aku semakin  mematung mendengar ucapan wanita dihadapanku ini. Pukulan maha dahsyat seolah dia layangkan tepat mengenai jantungku. Menghentikan aliran darah hingga beku. Aku diam membisu menatapnya. Tak ada kata lain selain airmata yang tiba-tiba bergulir membasahi pipi. Sesak. Sungguh sakit hati ini dibuatnya. "Jangan menangis kumohon," pintanya sambil menggenggam tanganku. Kami saling memandang satu sama lain dan terdiam cukup lama. ''Kamu lihat elang itu?,'' pandanganya beralih, menunjuk seekor burung yang tengah meliak-liuk diangkasa. ''Ketika dia pergi dari sarangnya, dia tak pernah lupa untuk kembali pulang menemui anak-anaknya,'' dia menatapku sesaat. Menelangkup wajahku yang tengah basah oleh airmata. "Percayalah. Dari dahulu sampai sekarang. Esok ,lusa bahkan sampai kapan pun kenangan tentangmu akan abadi dalam hatiku. Kumohon, Ndra. Jangan menangis. Ini jalan terbaik buat kita.'' "Jalan terbaik katamu?'' selaku. Terbaik untukmu, nggak buat aku,'' bentakku padanya. ''Cinta kita ini nggak akan pernah abadi. Kamu tau itu kan?'' katanya berusaha menenangkan jiwaku. Tangan halusnya mencoba menghapus setiap tetesan airmata yang tak berhenti mengalir. Kukibaskan tangannya dari wajahku. ''Secepat itukah semua ini berlalu, ha...!''  Wanita ini menatapku lekat-lekat. Tersenyum. Mengangguk pelan. Ada rasa sesak saat dia tersenyum padaku. ''Suatu saat kamu juga harus menikah,Ndra. Merawat suamimu. Mendidik anak-anakmu. Aku tak bisa memberikan semua itu padamu,'' wanita ini pun akhirnya menangis. Baru pertama kali ini aku melihat menangis dihadapanku. '' Jangan pergi! kumohon,'' pintaku dalam isak. ''Suatu saat kamu pasti mengerti, kenapa aku memutuskan hubungan kita. Cari kebahagiaanmu, sayang.'' Kupeluk wanita dihadapanku dengan erat. Berharap dia tak meninggalkanku sendiri. Wanita ini bagai candu dalam kehidupanku. Aku tak tau bagaimana jadinya aku tanpa dirinya. Tangisku kian membuncah seiring dengan derasnya air hujan. *** Gelegar halilintar menyadarkanku dari putaran kenangan yang sesaat lalu tersirat dimemori. Membawa ruh ini kembali dari alam bawah sadarku. Rasanya, jiwa ini ingin berontak. Keadilan yang kuharap tak jua datang menghampiri. Pekatnya azura masih menangis bersamaku. Menghantam tubuhku hingga jatuh tersungkur. Aku terus menangis bersama hujan. Menikmati setiap rinainya hingga jiwa ini dipenuhi rasa sesak. ''Ran...!'' teriakku sembari menantang hujan. Aku menangis tergugu di tengah hiruk pikuk lalu lintas jalanan. Semuanya lenyap tak tersisa. Bayang masa lalu itu tak mampu lagi kurengkuh. Aku tertunduk menatap bayangan diriku. Betapa diri ini berlumur dosa. Kututup wajahku. Berharap hujan mampu menghapus segala dosa ini dari hidupku. ''Aku malu, Tuhan,'' rintihku. ''Andra...!'' kudongakkan wajah mencari sumber suara yang memanggil namaku. Seorang wanita yang kukenal, kini berdiri dihadapanku. ''Astagfirullah, Andra?'' lanjutnya setengah terkejut. Wanita ini mencoba mengangkat tubuh lunglaiku. ''Ayo pergi nanti kamu sakit,'' cemasnya. Dia berusaha memapah dan membawaku berteduh tapi ragaku menolaknya. Aku masih ingin berada di tempat ini. Sendiri. Sekilas, kutatap wajahnya yang terlihat cemas melihat kondisiku yang kuyup. ''Sudahlah, Ndra. Ran sudah bahagia bersama suaminya. Sampai kapan kamu akan seperti ini terus?'' katanya tegas. Wanita dihadapanku ini adalah sahabat Ran. Setelah kepergian Ran hanya dialah yang mencoba membuatku bangkit dari keterpurukan. Menarikku dari jurang kesesatan. Memberi pengertian atas cinta terlarangku yang tak mungkin bisa disatukan oleh keadaan apapun. Tya, wanita ini sungguh tak pernah lelah menemani dan mengajariku tentang arti hidup yang sebenarnya. Kulihat  wajahnya yang memelas, memintaku bangkit bersamanya. Dan akhirnya, aku pun mengikuti langkah wanita berhijab ini. Pergi meninggalkan jejak luka yang selama ini membelenggu diri. Mungkin benar kata orang, mencintai bukanlah suatu kesalahan. Karena, cinta itu bisa timbul kapan saja, di mana saja dan pada siapa saja. Tak terkecuali padaku. Namun, aku salah menempatkan rasa itu. Salah karena mencintai orang yang jelas-jelas telah dilarang oleh agamaku. Membuat lubang kesesatan dalam kehidupanku. Dan dengan bodohnya masih mempertahankan hubungan yang tak mungkin bisa disatukan oleh waktu. Seperti cintaku ini pada sejenisku yang terlarang karena timbul oleh serangkaian pelampiasan hawa nafsu. Ini adalah tulisan yang pernah terbit di koran berbahasa Indonesia di Hongkong. Terima kasih sudah berkenan membaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun