Mohon tunggu...
Tabua Nusa
Tabua Nusa Mohon Tunggu... -

Sosiologi teknologi- Sosio-teknis-STS review

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menakar Kekerasan dan Penegakkan HAM di NTT

16 Agustus 2012   17:18 Diperbarui: 17 Januari 2019   16:09 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia



 

Beberapa waktu yang lalu penulis dihubungi oleh salah seorang kerabat yang menanyakan bagaimana cara mendorong kepolisian daerah untuk secara serius menindaklanjuti secara hukum terhadap kasus penganiayaan yang terjadi padanya. Kerabat penulis yang adalah seorang perempuan dihadang dan dipukul oleh seorang pria, saat sedang mengenderai kendaraan beroda dua bersama seorang temannya. akibatnya, selain dipukul mereka pun terjatuh dan mengalami luka memar di sekujur tubuh. Masalah tersebut berlangsung di wilayah hukum Polres TTU. 

Peristiwa pemukulan tersebut menunjukan dua hal, pertama daftar pola kekerasan yang sering terjadi di NTT bertambah. Kekerasan seolah merupakan kebiasaan yang melekat pada masyarakat dalam menghadapi persoalan. Akibatnya persoalan yang sering dialami malah semakin rumit karena jarang dipahami berdasarkan pertimbangan rasio maupun upaya dialog. Kedua, kelambanan aparat penegakkan hukum dalam menyingkapi kasus tersebut memberikan gambaran negatif tentang kinerja aparat penegak hukum baik di tingkatan nasional maupun lokal. 

Secara nasional Kekerasan dan upaya penegakan hukum akhir-akhir ini sering menjadi sorotan. Ruang-ruang diskursus dipenuhi dengan pembicaraan tentang cara-cara kekerasan yang selalu dipergunakan dalam menghadapi masalah. Pilihan atas tindakan kekerasan menjadikan Jalan keluar setiap persoalan buntu. Akibatnya,  masyarakat kita melepaskan pelajaran dari setiap permasalahan yang sesungguhnya bisa menjadi upaya pendewasaan atau pencapaian pemahaman yang lebih maju. 

Dialektika masyarakat terhenti ketika kekerasan selalu dipakai untuk mempertahankan posisi masing-masing. Harapan terhadap penegakkan hukum sebagai upaya Negara meminimalisir kekerasan seringkali berakhir dengan kekecewaan. Dalam banyak peristiwa, aparat hukum hanya menjadi penonton bahkan terkesan membiarkan kekerasan terjadi di hadapan mereka. 

Kekerasan dan Pelanggaran HAM di NTT

Walaupan sudah banyak instrument hukum yang dibuat sebagai perlindungan dan penegakkan HAM baik secara nasional maupun yang diratifikasi sebagai turunan konvensi internasional, kekerasan Indonesia masih merupakan persoalan serius dan marak terjadi. Kesadaran nir-kekerasan sepertinya jauh dari kesadaran masyarakat Indonesia. 

Dalam konteks regulasi, Kita memiliki UU 39 tahun 1999 tentang HAM, UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU 11 dan 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak SIPOL dan EKOSOB, UU Nomor 7 Tahun 1984 yang meratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Keputusan Presiden No. 36/1990 tentang rafikasi Konvensi Hak Anak pada tanggal 25 Agustus 1990, UU 23 tahun 2000 tentang Perlindungan Anak, UU 23 tahun 2004 tentang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dengan keberadaan sekian UU ini, harusnya kekerasan dan pelanggaran HAM berkurang. Tetapi sekali lagi, harapan itu jauh dari kenyataan. Hampir setiap hari media massa tidak luput memberitakan peristiwa kekerasan baik berkelompok maupun individual. 

Laporan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) NTT tahun 2009, menunjukan telah terjadi 385 peristiwa/kasus tindak kekerasan dan Pelanggaran HAM di NTT yang memakan korban sebanyak 3.677 orang. Berbagai kekerasan terjadi dari yang dilakukan personal maupun komunal, oleh warga sipil maupun aparatus Negara, oleh kelompok sosial ekonomi maupun Negara. Dalam daftar sekian kekerasan tersebut, kekerasan terhadap perempuan dan anak jadi catatan tersendiri karena intensitasnya yang cukup banyak, selain pelanggaran hak ekonomi sosial budaya masyarakat, serta khusus disoroti tentang kekerasan aparat negara (militer, Polri, PNS, guru, Dosen, aparat Desa/Kel, dan DPRD) yang juga mencakup jenis-jenis kekerasan yang disebutkan sebelumnya (PIAR NTT, 2009). Persebaran kasus merata di seluruh kabupaten di NTT. 

Pada tahun 2010 data tentang konflik dan kekerasan yang bersifat komunal di NTT meningkat dari 9 kasus pada tahun 2009 menjadi 11 kasus (Institut Titian Perdamaian; 2010). Data ini merujuk pada meningkatnya prosentase kekerasan dan konflik di Indonesia  pada tahun 2010 .

Kasus kekerasan yang dialami oleh kerabat penulis dan terjadi pada akhir tahun 2011 dan juga beberapa konflik politik yang juga terjadi, paling tidak menunjukan bahwa tidak banyak pergeseran yang terjadi dalam hal kekerasan dan pelanggaran HAM. Meningkatnya kekerasan ini bisa dilihat sebagai hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum. ketidakkepercayaan masyarakat terhadap hukum disebabkan oleh: Pertama, produk hukum yang tidak bisa merepresentasikan rasa keadilan bagi masyarakat. Kedua, keseriusan aparat hukum dalam menegakkan keadilan. Ketiga, kesadaran hukum masyarakat (Institut Titian Perdamaian : 2010).

Realitas penegakan hukum di NTT terhadap tindakan kekerasan dan pelanggaran masih harus terus diperbaiki, dengan berkaca pada ketiga point persoalan tersebut. Peraturan perundang-undangan yang dimiliki oleh Negara ini gagal dalam memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Dalam berbagai kasus, prinsip keadilan yang seharusnya diperjuangkan dan dicapai oleh keberadaan hukum menunjukkan ketimpangan ketika dilaksanakan. 

Pada konteks ini, performa aparat penegak hukum merupakan bagian penting untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat dengan menegakkan supremasi hukum. Tetapi ini juga merupakan persoalan akut yang sedang dihadapi Negara ini. Dalam berbagai pemberitaan di media massa menunjukkan bahwa performa aparat penegak hukum masih sangat mengecewakan dengan begitu mudahnya “terbeli”. 

Selain produk hukum dan performa aparat penegak hukum, kondisi kesadaran masyarakat atas hukum merupakan bagian penting dari satu-kesatuan kondisi penegakkan hukum dan HAM. Tidak terjadinya ketiga hal ini menunjukkan bahwa ada fenomena, lemahnya institusi Negara ketika berhadapan dengan faksi-faksi ekonomi politik yang beroperasi dalam masyarakat. Akibatnya kekerasan dan pelanggaran HAM tetap langgeng dalam masyarakat. A

Kekerasan : Simptom terhambatnya rasionalitas 

Selain institusi hukum sebagai logika sistem untuk mengatur serta mengendalikan kekerasan, ada penjelasan lain terkait fenomena kekerasan yang terjadi dalam masyarakat. Pada takaran tertentu, tendensi pilihan tindakan kekerasan dalam suatu masyarakat merupakan indikasi dari tersumbatnya rasionalitas masyarakat. Ada problem historis yang menghambat proses kesadaran masyarakat untuk berdialektika secara sadar. Problem historis ini tidak pernah disentuh oleh upaya bernegara untuk bisa menghasilkan loncatan kesadaran yang dialogis yang berakibat terbentuknya masyarakat kritis yang mandiri. Negara tidak memberikan tempat kepada kebudayaan sebagai sumber pengetahuan dan kesadaran bagi masyarakat.

Terhambatnya saluran rasionalitas membuat individu dalam masyarakat tersebut memilih tindakan destruktif sebagai sikap dalam berhubungan dengan sesamanya. Hal ini disebabkan karena masyarakat miskin pilihan dalam struktur sosial yang masih asing dalam kesadarannya seiring birokratisasi instrumen-instrumen sosial seperti kebudayaan hingga organisasi massa dimana individu dalam proses tersebut terasing. 

Rasionalitas yang dimaksud adalah pengetahuan untuk memahami dan bereksistensi dalam dunia yang dihidupinya, dimana meliputi bagaimana berproduksi dan bagaimana cara produksi tersebut menghasilkan kesadaran interaktif secara sosial politik. Sebab hasrat dominan manusia baik berupa cinta ataukah kedestruktifan, sangat tergantung pada kondisi sosialnya. Manusia harus keluar dari kondisi keterkekangan dalam struktur sosial yang terbentuknya ditentukan oleh pilihan jalur ekonomi-politik Negara. Syarat utama untuk berkurangnya perilaku destruktif adalah berkurangnya faktor-faktor riil yang memicunya, dimana baik individu maupun kelompok dalam suatu masyarakat tidak terancam oleh yang lain (E. Fromm, 1973).

Terjadi periode panjang keterasingan masyarakat terhadap kenyataan sejarahnya sendiri, Semenjak zaman kolonial hingga anarkisme modal saat ini. Kesadaran masyarakat tercerabut dari basis produksi yang dimiliki. Menemukan kembali kesadaran rakyat adalah dengan memberikan pengakuan atas kebudayaan masyarakat sebagai rahim pengetahuan yang memproduksi kesadaran seiring dengan akses untuk berproduksi. Sejarah harus dikembalikan pada esensi jiwa sosial di mana perubahan terjadi sebagai hal alamiah dari masyarakat. Niscaya kekerasan tidak lagi menjadi pilihan jalan keluar. 

*Anggota Forum Batu Tulis Nusantara

 

 

 

 

 

 

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun