Ada 1 momen yang paling membekas pada diri saya, hingga membuat saya begitu merasa bahwa betapa pentingnya mewujudkan cita-cita anak itu. Momen itu ketika saya menginjak usia 22 tahun, pada usia itu saya baru menyadari cita-cita apa yang sebenarnya saya miliki.
Di masa-masa sebelum itu, ternyata cita-cita apa yang diucapkan dalam mulut saat ada yang bertanya “ingin jadi apa nanti?’ adalah cita-cita yang semu. Saya mengucapkannya tanpa ada panggilan jiwa yang mendorong. Tidak tahu apakah hal ini tergolong terlambat atau tidak, yang pasti saya baru bisa menjawab apa cita-cita saya secara meyakinkan setelah hidup 22 tahun, setelah saya dewasa, bukan anak-anak lagi bahkan remaja.
Tapi saya tidak pernah menyesali itu semua, biarlah waktu sudah berlalu. Yang terpenting saat ini, saya fokus mewujudkan cita-cita saya dan berusaha untuk tidak mengulangi semua ini saat saya memiliki anak nanti.
Sebelum mewujudkan cita-cita anak saya nanti, tentunya saya harus mempelajari apa yang menjadi penyebab saya ‘telat panas’ dalam meraih cita-cita.
Pertama, Peran Keluarga. Dalam hal ini orang tua. Sungguh saya tulis ini bukan bermaksud untuk menyalahkan orang tua saya, bagaimanapun juga mereka telah berjasa besar bagi kehidupan saya. Saya harap ini akan menjadi pelajaran bagi kita semua.
Saya terlahir dan hidup di dalam keluarga yang berkecukupan, tidak kaya dan juga tidak miskin. Orang tua saya sangat menyadari pendidikan itu penting bagi anak-anaknya demi meraih masa depan yang baik. Mereka menyekolahkan saya di sekolah favorit dari SD hingga SMA. Tapi yang saya sadari setelah saya dewasa adalah selama masa kanak-kanak hingga remaja, saya tidak diarahkan untuk memiliki cita-cita apa yang ingin diwujudkan.
Jujur saja, momen yang paling terasa adalah saat saya baru lulus dari SMA. Saya bingung memilih jurusan apa saat kuliah nanti, bahkan saya tidak tahu mau jadi apa nantinya. Karena selama ini, orang tua saya hanya meminta untuk belajar yang rajin, belajar yang pintar, nilai harus bagus, harus mendapatkan ranking di kelas. Dengan alasan, bahwa semua itu akan menjadi kesuksesan di masa depan.
Padahal saat saya SD, saya pernah meminta untuk disekolahkan di Sekolah Sepakbola karena saya suka dengan bermain bola dan ingin menjadi pemain sepak bola profesional saat besar nanti. Tapi orang tua tidak mengabulkan, hingga pupus lah sudah cita-cita saya ketika itu. Cita-cita yang sebenarnya bisa saja terwujud nyata pada saat ini, karena memang hingga sekarang saya masih menyukai dunia sepak bola.
Saya jadi teringat, dengan jawaban-jawaban klasik dari anak-anak yang ditanya, ‘cita-citanya apa?’. Kalau bukan dokter, pasti jawabannya berputar di antara pilot, polisi, dan presiden. Sebuah jawaban yang kosong di hati.
Dan saya rasa, ini menjadi hal yang umum dari dulu sampai sekarang. Anak-anak tidak tahu apa yang menjadi cita-citanya. Mungkin teman-teman yang sedang baca tulisan ini pun, termasuk di dalamnya.
Jadi jangan heran, kalau banyak orang yang saat kecil ditanya cita-citanya, misalnya saja jawabannya itu Polisi, tapi saat kuliah malah di jurusan arsitektur, dan masuk dunia kerja justru jadi staf kantor di divisi kepegawaian.