Mohon tunggu...
Jeanne Eris Aphrodite
Jeanne Eris Aphrodite Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

I won't be silence

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Patriarkisme dan KDRT

16 Mei 2024   13:25 Diperbarui: 3 Juli 2024   20:06 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau sering disingkat dengan KDRT merupakan fenomena yang marak terjadi di Indonesia. KDRT merupakan perbuatan yang berupa ancaman, pemaksaan, perampasan, bahkan hingga penyiksaan terhadap anggota keluarga atau rumah tangga yang menyebabkan trauma dan penderitaan baik secara fisik, mental, hingga seksual. Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) terdapat sekitar 18.500 kasus KDRT pada tahun 2023 yang hampir 90 persen korbannya adalah perempuan. Lagi-lagi perempuan yang menjadi korban dalam kasus kekerasan. Mengapa selalu perempuan yang menjadi objeknya?

Salah satu jawaban dari pertanyaan tersebut adalah tumbuh suburnya patriarkisme di Indonesia. Patriarkisme adalah suatu budaya yang memberikan laki-laki kedudukan tertinggi dalam strata sosial dan memberikan dominasi kekuasaan atas segala sesuatu. Dalam lingkup keluarga, patriarki menempatkan sosok ayah sebagai seseorang yang memiliki otoritas terhadap seluruh anggota keluarganya, termasuk harta bendanya. Ayah akan mendominasi dan mengatur semua aktivitas yang dilakukan dalam rumah tangga. Dengan demikian, ayah adalah penguasa tunggal dalam lingkup keluarganya.

Letak hubungan antara KDRT dengan patriarkisme ada di dominasi dan penempatan kedudukan laki-laki yang tinggi. Dengan adanya dominasi dan tingginya strata laki-laki membuatnya menjadi memiliki hak-hak yang istimewa dibandingkan perempuan. Hak tersebut salah satunya hak atas tubuh dan kehidupan perempuan yang berada di tangan laki-laki sehingga laki-laki bisa dengan bebas mengaturnya. Dengan begitu, laki-laki, atau suami dalam kasus kekerasan rumah tangga, merasa memiliki hak untuk melakukan kekerasan dengan sekehendaknya dan perempuan yang tersubordinasi tidak memiliki kemampuan dan hak untuk melawan kekerasan dari laki-laki.

Apakah sebenarnya perempuan tidak mempunyai hak untuk melawannya? Jawabannya adalah ada. Perempuan sebetulnya memiliki hak untuk menghadapi kekerasan yang telah dilakukan oleh laki-laki. Akan tetapi, jika kekerasan dilangsungkan secara fisik, maka tidak semua perempuan bisa menolaknya karena anatomi tubuh yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan yang mana tubuh laki-laki lebih besar dan memiliki massa otot yang lebih banyak sehingga laki-laki relatif lebih kuat. Kemudian, jika kekerasan dilakukan secara verbal atau seksual, maka stigma dari masyarakat-lah yang akan menghalangi. Perkataan-perkataan seperti "Tidak mentaati suami", "Berani kepada suami", atau "Istri durhaka" akan terlontar pada perempuan. Maka dari itulah alasan banyak perempuan tidak melawan ketika menjadi korban dari kekerasan dalam rumah tangga.

Budaya patriarki yang mengistimewakan laki-laki ini sudah mendarah daging di masyarakat Indonesia. Sementara itu, di Indonesia sendiri telah ada yang hukum yang menyatakan kesetaraan hak-hak antara laki-laki dan perempuan dalam pernikahan. Hukum tersebut tertuang pada UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 31 ayat (1) yang mengatakan "Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat." Dengan adanya hukum yang demikian, berarti negara sudah memberikan regulasi tentang kesetaraan dalam rumah tangga, sehingga yang menjadi akar permasalahan KDRT adalah budaya patriarki itu sendiri.

Solusi yang ditawarkan untuk permasalahan ini adalah perubahan pola pikir dan stigma di masyarakat tentang patriarki dan kesetaraan gender. Hal ini memang sulit dilakukan secara langsung dan cepat karena sudah mendarah daging, tetapi jika dikerjakan perlahan maka kemungkinan besar budaya tersebut bisa dihilangkan. Pihak laki-laki sendiri juga dibutuhkan dalam menghilangkan budaya patriarki dengan cara menyadarkan dirinya bahwa antara laki-laki dan perempuan itu memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam pernikahan yaitu mengelola rumah tangga sebaik mungkin. Laki-laki juga harus sadar bahwa tanpa perempuan, mereka tak akan bisa hidup seperti biasanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun