Saat ini, dunia sedang mengalami perubahan besar dalam cara barang dan layanan diproduksi dan didistribusikan, berkat terobosan teknologi yang terus berlangsung. Inovasi ini membentuk wajah masa depan industri dan lapangan kerja. Perkembangan teknologi yang terus menerus memiliki dampak yang signifikan pada kehidupan manusia, kebiasaan konsumsi, tingkat kesejahteraan, dan produksi barang dan layanan.Â
Awal dari kemajuan dalam proses produksi dimulai sekitar pertengahan abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-19 di Inggris. Era ini, dikenal sebagai Revolusi Industri pertama, ditandai dengan penemuan mesin-mesin yang menggantikan pekerjaan manual dengan otomatisasi mekanis. Permasalahan ketenagakerjaan yang perlu segera diatasi adalah hubungan teknis yang  bersifat bersahabat/kemitraan dan bukan statis,  biaya ketenagakerjaan yang sangat bergantung pada pembayaran yang disepakati, tingkat keterampilan dan prestasi kerja, pengembangan karyawan dan perlindungan tenaga kerja dari pemecatan.
Seiring dengan perkembangan teknologi, beberapa pekerjaan menghilang dan pekerja perlu meningkatkan atau mempelajari keterampilan baru untuk tetap kompetitif di pasar kerja. Teknologi terkadang secara langsung menggantikan pekerja, namun dalam beberapa situasi, teknologi justru memperkuat kemampuan manusia.Â
Dampak dari teknologi mencakup kombinasi peningkatan produktivitas dan peningkatan permintaan konsumen terhadap produk, layanan, dan industri baru. Pada akhirnya, perkembangan ini dapat menciptakan lapangan kerja baru. Dengan semakin intensifnya perdebatan mengenai perkembangan Industri 4.0 yang mengarah ke digitalisasi, terdapat kekhawatiran bahwa teknologi, termasuk robot, akan mengurangi lapangan kerja bagi manusia.Â
Kekhawatiran ini menjadi perhatian dan diskusi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara berkembang lainnya. Menurut laporan World Development Report (WDR) 2019 yang diterbitkan oleh Bank Dunia pada bulan Oktober, penduduk di negara-negara maju juga mengkhawatirkan dampak teknologi terhadap lapangan pekerjaan.Â
Mereka khawatir bahwa ketidaksamaan yang semakin meningkat dalam "gig economy" akan menyebabkan tingkat pekerjaan yang lebih rendah untuk kelompok tertentu. Ketika sejumlah kecil pekerja dikontrak untuk waktu tertentu oleh perusahaan tertentu, ini disebut "gig economy".Â
Oleh karena itu, otomatisasi telah menyebabkan pengangguran di sektor manufaktur di beberapa negara maju dan dengan pendapatan menengah. Laporan tersebut menyatakan bahwa pekerja yang melakukan pekerjaan rutin yang terkodifikasi adalah yang paling rentan digantikan.Â
Namun, ia menambahkan bahwa teknologi memungkinkan lapangan kerja baru, peningkatan produktivitas, dan pengembangan layanan publik yang lebih baik.
Namun, masyarakat tidak perlu khawatir tentang bahaya yang ditimbulkan oleh Internet of Things dan kecerdasan buatan manusia. Justru karena hal itu mampu membuka peluang bagi industri untuk membuat produk lebih sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Selama gelombang kemajuan dalam revolusi industri 4.0, ada biaya signifikan yang harus ditanggung.Â
Sejalan dengan itu, sekitar 70% proses digitalisasi perusahaan berakhir dengan kegagalan. Tidak hanya karyawan kurang siap untuk mengoperasikan peralatan canggih, tetapi manajemen juga mungkin tidak siap untuk menghadapi perubahan tersebut. Peningkatan jumlah robot di Indonesia mungkin dipicu oleh dorongan perusahaan untuk meningkatkan daya saing mereka, terutama karena mereka mungkin tidak lagi bisa mengandalkan pendekatan padat karya seperti yang biasa terjadi dalam proses produksi di masa lalu.
Dampak penggunaan robot pada lapangan kerja di Indonesia sulit ditentukan tanpa data yang cukup. Pemerintah menganggap percepatan otomatisasi sebagai potensi pemicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), ketidakseimbangan, dan meningkatnya ketimpangan pendapatan.Â