Eits, tunggu dulu. Sebelum diserang netijen, saya bisa jelaskan ceritanya. Dibaca sampai selesai, ya.
Senin 28 Oktober 2024 kemarin, saya bersama komunitas Click Kompasiana dan Kreatoria walking tour menyusuri jejak sejarah Depok. Siangnya belajar sejarah Depok, pagi sebelumnya belajar seputar perawatan kereta api yang artikelnya bisa dibaca di sini.
Siang itu, kami dipandu oleh Bapak Boy Loen, seorang keturunan Belanda Depok yang kami temui di Cornelis Koffie yang terletak di Jalan Pemuda, Pancoran Mas. Boy juga merupakan Ketua Bidang Sejarah Kepengurusan Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC)
Sejarah kepresidenan Depok dimulai dari seorang tuan tanah Belanda yang bernama Cornelis Chastelein. Cornelis sempat menjadi pejabat kongsi dagang Hindia Belanda (VOC). Cornelis membeli tanah Depok seharga 700 ringgit dari seorang residen di Cirebon. Kemudian membukanya menjadi lahan produktif. Nantinya sebagian hasil lahan ini diperuntukkan untuk warga Depok yang merupakan budak-budak yang dibeli Cornelis dari pasar budak di Bali.
Budak-budak pada masa itu masih hal yang lumrah, ya. Walaupun kita sampai saat ini ternyata masih ada juga perbudakan ini. Seperti di daerah Sumba Timur, Nusa Tenggara.
Budak-budak tersebut kemudian dipekerjakan oleh Cornelis di lahan pertaniannya. Eits, tapi bukan kerja rodi, ya. Mereka hanya bekerja sampai siang kemudian sore harinya mereka akan belajar baca tulis. Karena menurut Cornelis, pendidikan itu sangatlah penting walaupun mereka adalah seorang budak. Pendidikan yang diberikan Cornelis ini dan juga pengetahuan tentang berorganisasi, nantinya akan menjadi cikal bakal pemerintahan sipil di Depok yang dimulai tahun 1913.
Pengurus pemerintahan berjumlah lima orang. Ketuanya disebut sebagai preseden Depok. Mulai kebayang, ya. Yuk, lanjut baca lagi.
Ketika Cornelis meninggal, ia memerdekakan semua budak dan mewariskan lahan pertaniannya melalui surat wasiat.. para mantan budak dan keturunannya ini dikenal dengan Kaoem Depok. Berubah menjadi Belanda Depok karena bagi orang Batavia (sekarang Jakarta), ketika mereka melewati Depok, mereka akan berteriak: "Kita sampai di Amsterdam. Belanda Depok naik!"
Ya, para budak tadi salah satunya juga diajarkan Bahasa Belanda. Kenapa disebut Belanda Depok? Karena bisa Bahasa Belanda tapi warna kulit tetap sawo matang.