Mohon tunggu...
zhalfazhahira
zhalfazhahira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga

Saya merupakan mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga tahun 2024

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Stigma Gigi dan Dampaknya pada Kesehatan Mental

13 Desember 2024   20:45 Diperbarui: 13 Desember 2024   20:45 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Kesehatan gigi dan mulut sering kali dianggap sebagai aspek kesehatan yang terpisah dari kesehatan tubuh pada umumnya (Setiadi, 2023). Padahal, kesehatan  gigi  dan  mulut merupakan bagian penting bagi kesehatan dan kesejahteraan tubuh, dimana kondisinya dapat mempengaruhi kualitas hidup individu. Seperti jika fungsi bicara, pengunyahan, dan rasa percaya diri individu terganggu, maka kondisi kesehatan gigi dan mulut individu tersebut tidak sehat. (Ramadhan et.al, 2024).

Selain kesehatan gigi dan mulut, kesehatan mental juga merupakan aspek penting yang harus dijaga oleh tiap individu. Menurut WHO, kesehatan mental adalah kondisi sejahtera individu, ketika individu menyadari kemampuan dirinya, mampu untuk mengelola stres yang dimiliki serta mampu beradaptasi dengan baik, dapat bekerja secara produktif, dan berkontribusi untuk lingkungannya. Ketika kesehatan mental terganggu, individu dapat mengalami kesulitan dalam berpikir, merasakan suatu hal, dan berinteraksi yang mana hal ini dapat berdampak negatif pada kualitas hidup mereka (Savitrie, 2022).

Individu yang memiliki masalah kesehatan mental sering kali kurang memperhatikan perawatan gigi mereka. Misalnya, individu yang mengalami depresi cenderung mengurangi motivasi untuk menjaga kebersihan mulut, yang berpotensi dapat menyebabkan masalah gigi lebih lanjut. Stres dan kecemasan dapat memicu kebiasaan buruk yang dapat merusak gigi seperti menggigit kuku atau bruxism (menggertakkan gigi). Selain itu, stres dapat mempengaruhi pola makan individu, pola makan ini sering kali mengarah pada konsumsi makanan tinggi gula yang mana makanan ini  berkontribusi besar pada kerusakan gigi (Tjahja et al, 2019).

Menurut data dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, sekitar 88% anak-anak di Indonesia mengalami masalah kesehatan gigi, dengan prevalensi tertinggi ditemukan pada generasi Z yang berusia antara 15 hingga 24 tahun (Fatiara & Novitasari, 2022). Selain itu, kondisi gigi yang buruk seringkali menjadi penyebab penurunan kualitas hidup, di mana rasa percaya diri dan interaksi sosial individu dapat terpengaruh secara signifikan (Setiadi, 2023). Dengan tingginya angka masalah kesehatan gigi ini, penting untuk menyoroti hubungan erat antara kesehatan gigi dan kesehatan mental, serta memfokuskan perhatian pada upaya preventif yang dapat membantu mencegah dampak lebih lanjut terhadap kesejahteraan individu.

Kesehatan mental dan kesehatan gigi adalah dua aspek yang saling terkait dalam kesejahteraan individu. Memahami hubungan ini penting untuk pengembangan strategi perawatan yang holistik, di mana perhatian terhadap kesehatan gigi juga mencakup dukungan untuk kesehatan mental. Upaya untuk meningkatkan keduanya dapat membantu individu mencapai kualitas hidup yang lebih baik secara keseluruhan.

Kedokteran Gigi dan Kesehatan Mental

Kesehatan gigi yang buruk dapat memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan mental individu. Seperti contoh ketika individu mengalami infeksi gigi atau penyakit gusi, sering kali individu tersebut merasakan rasa sakit yang parah. Hal ini dapat memicu turunnya kepercayaan diri dan kualitas hidup individu secara keseluruhan. Individu dengan masalah gigi serius sering merasa malu atau rendah diri, yang mana hal ini dapat memicu atau memperburuk gangguan kesehatan mental seperti munculnya depresi dan kecemasan (Setiadi, 2023).

Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi depresi di Indonesia adalah 1,4%. Artinya, sekitar 1 dari 100 orang di Indonesia mengalami depresi. Prevalensi depresi tertinggi di Indonesia dialami oleh generasi Z, yaitu kelompok usia 15-24 tahun, dengan angka 2%. Prevalensi depresi tertinggi berikutnya dialami oleh kelompok lansia, yaitu berusia 75 tahun ke atas, dengan angka 1,9%. Hanya 10,4% dari generasi Z yang mencari pengobatan untuk depresi. 87% penderita depresi di Indonesia tidak berobat.

Penelitian yang dilakukan oleh Tjahja & Nainggolan (2019) menunjukkan bahwa individu dengan gangguan jiwa, seperti depresi, memiliki kecenderungan untuk mengabaikan perawatan gigi mereka, yang pada gilirannya memperburuk kondisi kesehatan mulut mereka. Selain itu, generasi Z, yang menjadi kelompok usia dengan prevalensi depresi tertinggi di Indonesia, menunjukkan tingkat pengabaian perawatan gigi yang lebih tinggi, yang dapat berkontribusi pada masalah kesehatan mulut yang lebih serius.

Individu yang mengalami depresi sering kali kehilangan motivasi untuk merawat gigi mereka. Mereka mengabaikan kebiasaan menyikat gigi secara teratur dan tidak melakukan kunjungan rutin ke dokter gigi, sehingga memperburuk kondisi kesehatan gigi mereka. Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan gangguan kesehatan mental cenderung memiliki perilaku perawatan gigi yang buruk, yang berkontribusi pada masalah kesehatan mulut yang lebih serius. "Kesehatan gigi yang buruk dapat berdampak negatif pada kesejahteraan mental, dan sebaliknya, masalah kesehatan mental dapat memengaruhi perilaku perawatan gigi," kata dokter gigi Iwan Setiadi mengutip laman RS. Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan (RSJSH) Jakarta, Senin (15/1/2024) (Al Ansori A. N, 2024).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun