Mohon tunggu...
Marhento
Marhento Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Seorang yang ingin berbagi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Benarkah Kita Percaya Diri?

2 Desember 2024   06:30 Diperbarui: 2 Desember 2024   06:32 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : www.anandashram.com

Belum, karena sesungguhnya kita belum mengenal diri yang sejati. Sejak kecil kita dibentuk oleh lingkungan yang bila ditelusuri mereka pun belum mengenal diri. Identitas palsulah yang mereka sematkan pada diri kita. Hal ini tidaklah aneh atau janggal, karena sebenarnya mereka pun telah dibentuk berdasarkan kepalsuan dari sejak lama.  

Identitas yang diberikan oleh lingkungan berdasarkan yang mereka pahami. Sebagai contoh, seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai seorang menteri atau pejabat tertentu akan terus menggunakannya, walaupun ia sudah pensiun alias tidak lagi menjabat, pada kartu namanya setelah pensiun akan menggunakan jabatan yang pernah disandangnya, misalnya MANTAN MENTERI. Dengan kata kata lain, ia tidak percaya diri.

Demikian pula seorang dokter yang sebenarnya sebagai profesi, tetapi di masyarakat umum ia selalu memperkenalkan diri atas profesinya, dokter. Sebenarnya SIAPAKAH AKU?

Ketika kita menunjuk diri kita, kita sedana menunjuk bagian tubuh. Perhatikanlah kalimat ini, Aku Polan. Polan bukanlah 'AKU', tetapi AKU yang saat berada pada tubuh Polan. Dan yang penting kita ketahui adalah bahwa yang kita sebut tubuh ini pun mengalami perubahan setiap 5-7 tahun. 

Berdasarkan hasil penelitian, setiap sel tubuh kita mengalami pergantian setiap 5-7 tahun. Bisa kita bayangkan bahwa si Polan 10 tahun yang lalu tidaklah sama dengan si Polan saat ini. Yang sama adalah pikiran kita.

Untuk mengenal Diri yang sesungguhnya, kita mesti memahami Jati Diri kita. Untuk memahami ini, kita mesti ingat kembali pesan yang dituliskan seorang nabi, Tuhan meniupkan sebagaian dari diriNya. Sesungguhnya walaupun istilahnya ditiupkan, tetapi kesempurnaanNya tidaklah berkurang. 

Ibaratnya kita membeca suatu buku, pengetahuan yang kita peroleh dari buku menjadi bagian dari kita, tetapi sesungguhnya tidak sedikitpun bagian dari buku yang berkurang. Dan ketika ada orang lain yang membvaca buku tersebut, pengetahuan yang diperolehnya sama dengan yang kita serap. Isi buku tetap sama; sama sekali titan berkurang. 

Demikian juga ketika Tuhan meniupkan bagian dari diriNya ke dalam tubuh kita. Katan 'meniupkan' pun hanyalah untuk mempermudah pemahaman kita. Jadi sesungguhnya kualitas yang ada dalam diri kita tetaplah semurni Sang Sumber. Inilah Diri yang sesungghnya.

Berdasarkan pemahaman di atas, maka bisa dikatakan bahwa untuk mengenal Tuhan, kenalilah Dirimu sendiri. Bila kita bisa memahami dan mempercayai bahwa Dia juga bersemayam daam diri setiap manusia, kita bisa hidup saling menghargai dan mengasihi.  Karena kita semua digerakkan oleh energi yang satu dan sama, percikan Hyang Maha Suci. Dengan kata lain, kitalah sumber kekuatan. Tiada kekuatan lain di luar Diri kita.

Namun bukan berarti bahwa kita bisa berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain, karena dalam diri mereka juga bersemayam percikan Ilahi juga. Lantas, apa yang mau disombongkan? Sebaliknya, kita mesti semakin mengasihi sesama makhluk hidup dengan kesadaran bahwa kita semua disatukan oleh energi yang satu dan sama, Energi Ilahi. 

Untuk mengenal Diri Sejati, kita mesti mulai memelihara tubuh, pikiran serta perasaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun